SLEMAN, iNews.id - Prof Abdul Mustaqim dikukuhkan menjadi Guru Besar Universitas Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pengukuhan dilakukan Ketua Senat UIN Yogyakarta Siswanto Masruri melalui Rapat Senat Terbuka yang dihadiri Rektor Yudian Wahyudi di Gedung Soenarjo, Senin (16/12/2019).
Pengukuhan guru besar Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam ini dilaksanakan berdasarkan Keputusan Menristekdikti Nomor 35229/M/KP/2019 tertanggal 15 Oktober 2019. Dia dikukuhkan sebagai guru besar bidang Ulumul Quran.
“SK-nya sudah bulan Oktober, tetapi pengukuhan baru hari ini,” ujar Siswanto, Senin (16/12/2019).
Sebelum pengukuhan, Abdul Mustaqim menyampaikan Orasi Ilmiahnya berjudul ‘Argumentasi Keniscayaan Tafsir Maqashidi sebagai Basis Moderasi Islam’. Secara epistemologis, Tafsir Maqashidi dapat menjadi salah satu alternatif dalam meneguhkan kembali moderasi Islam ketika harus berdialektika antara teks yang statis dan dinamis.
Tafsir Maqashidi merupakan bentuk wasathiyah (moderasi) antara kelompok tekstualis-skriptualis dan kelompok liberalis-substansialis (yua"th-thlûn al-nushûsh).
Tafsir Maqashidi ingin menggali maqashid (tujuan, hikmah, maksud, dimensi makna terdalam dan signifikansi) yang ada di balik teks dengan tetap menghargai teks agar tidak terjebak pada sikap de-sakralisasi teks. Pertimbangan terhadap dinamika konteks dan maqashid secara cermat-kritis dalam rangka merealisasikan kemaslahatan dan menolak kemudlaratan.
Tafsir Maqashidi kata dia, cukup argumentatif sebagai basis peneguhan dan pengembangan Islam wasathiyah, Islam yang toleran, inklusif dan humanis. Alasannya, secara ontologis tafsir ini dapat menjadi filsafat tafsir yang memiliki dua fungsi.
Pertama sebagai spirit (ruh) pengembangan tafsir yang responsif dan solutif sesuai tuntutan perkembangan zaman. Tafsir ini juga sebagai kritik terhadap kejumudan (stagnasi) produk tafsir yang tidak sejalan dengan tuntutan kemaslahatan maqashid zaman.
Secara epistemologis, tafsir maqashidi merupakan sikap wasathiyah (moderasi) antara model berfikir literalis-skriptualis yang cenderung ya’budûna al-nushush (menyembah teks). Mengarah pada ekstremisme beragama dan model berfikir substansialis-liberalis yang cenderung yu"aththilûna al-nushush (mengabaikan teks atau desakralisasi teks), mengarah kepada de-syariati agama secara liberal.
“Tafsir Maqashidi berada di tengah-tengah keduanya. Di satu sisi tetap menghargai teks (yahtarim al-nushush), namun tidak menyembah (lâ ya’bud al-nusuhsud). Melainkan memahami maqâshid al-nushush wa hikamiha (maksud-tujuan teks serta hikmah-hikmahnya),” katanya.
Tafsir Maqashidi tetap menjaga wilayah yang bersifat sakral, dalam soal ibadah mahdlah, hirarkhi nilai obligatory, seperti soal salat, dengan tetap memahami asrar (rahasia) dan hikmahnya.
Namun di sisi lain, Tafsir Maqashidi juga kreatif-inovatif dalam mengembangkan wilayah keagamaan yang bersifat berubah terkait dengan isu-isu sosial politik kemanusian yang dihadapi masyarakat modern dewasa ini. Namun tetap berpegang pada kaedah umum maqashid.
Menurut Abdul Mustaqim, diperlukan perjuangan untuk membela nilai-nilai humanisme dalam konteks ke-Islaman. Seperti fenomena sebagian orang yang begitu semangat untuk melakukan penggerebekan warung-warung makan dan restoran di siang bulan Ramadan.
Kelompok tersebut beralasan demi menghormati kemuliaan bulan Ramadan dan untuk membela agama (Tuhan). Padahal tidak ada teks yang tegas melarang hal tersebut.
Abdul Mustaqim mengusulkan jalan moderasi, siang Bulan Ramadan tetap boleh buka warung, tetapi gording jendela ditutup atau pintu warung dibuka setengah sehingga tetap menghormati mereka yang sedang berpuasa.
Editor : Donald Karouw
Artikel Terkait