GUNUNGKIDUL, iNews.id - Ketua DPRD DIY Nuryadi menyebut penggunaan aksara Jawa dan unggah-ungguh (sopan santun) mulai luntur dalam kehidupan masyarakat di Yogyakarta. Salah satunya dampak dari kemajuan tehnologi informasi yang mengakibatkan degradasi budaya Jawa tersebut.
Nuryadi mengatakan, saat ini sudah banyak masyarakat Yogyakarta yang tidak bisa menulis dan membaca aksara Jawa. Padahal aksara dan bahasa Jawa mencerminkan ungah-ungguh yang ada dalam tradisi budaya Jawa.
"Aksara dan Bahasa Jawa itu ada tingkatnya karena sudah masuk unggah-ungguh atau sopan santun," tuturnya paa Sosialisasi Perda Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pemeliharaan dan Pengembangan Bahasa, Sastra dan Aksara Jawa di Sanggar Suryo Bawono, Playen ini berlangsung pada Sabtu (19/8/2023) kemarin.
Dia menyebut Bahasa Jawa ada tingkatannya mulai dari bahasa kasar alias ngoko, kemudian bahasa halus alias Kromo dan Bahasa Jawa sangat halus atau kromo hinggil. Tingkatan Bahasa Jawa ini akan disesuaikan dengan lawan bicara.
Kondisi serupa juga ada dalam aksara Jawa yang memiliki berbagai tingkatan. Saat ini sangat jarang masyarakat DIY yang masih mengerti dan memahami aksara Jawa ini. Bahkan hanya sebagian kecilnya masyarakat DIY yang mampu membaca dan menulis aksara Jawa.
"Ini mengundang keprihatian semua pihak. Saya kira kurikulum di sekolah yang harus diperbaiki," tutur dia.
Nuryadi mengatakan, pemerintah berkewajiban untuk melestarikan aksara Jawa ini. Kurikulum pendidikan harus dievaluasi agar aksara Jawa ini tidak punah. Siswa dari luar DIY juga harus turut serta mempelajari Aksara Jawa.
Pemda DIY sudah memiliki peraturan daerah yang mengaturnya. Tinggal menunggu peraturan gubernur untuk pengimplementasiannya. Jika semua sudah lengkap maka, harus segera dilaksanakan di segenap masyarakat.
Nuryadi mengaku kondisi di masyarakat saat ini cukup ironi karena komunikasi keluarga yang sekarang justru terasa dibatasi oleh perkembangan jaman. Meskipun berkumpul dalam satu rumah, namun sibuk dengan gawai atau ponsel. Padahal berkumpulnya satu keluarga sangat efektif untuk mempererat hubungan emosional.
Secara nasional sudah ada ada program sinau Pancasila. Sedangkan di internal Provinsi DIY juga memiliki kekayaan budaya yang juga harus dilestarikan.
"Pasti ada tantangan, pasti ada kendala," ucapnya.
Sementara itu, pegiat aksara Jawa di Kampung Aksara Pacibita Ahmad Fikri mengatakan, pengesahan perda tidak semata-mata ingin menunjukkan Keistimewaan DIY tapi justru penghargaan terhadap warisan leluhur. Sebagian besar masyarakat Yogyakarta sudah tidak memiliki kemampuan membaca dan menulis aksara Jawa.
"Ke depan mudah-mudahan dengan adanya perda dan pergub menginspirasi masyarakat untuk membentuk sanggar-Sanggar aksara Jawa," ujarnya.
Editor : Kuntadi Kuntadi
Artikel Terkait