YOGYAKARTA, iNews.id - Erupsi Gunung Merapi yang terletak di perbatasan DIY dan Jawa Tengah mengancam keberadaan 12 jenis mamalia yang ada di Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Kondisi ini juga dipengaruhi banyak aktivitas masyarakat di Lereng Gunung Merapi.
Hasil penelitian mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Nurpana Sulaksono, mengatakan dalam penelitiannya dirinya memasang puluhan kamera jebakan. Hasilnya ada 12 jenis mamalia dan 10 di antaranya berupa mamalia darat, terbanyak berupa monyet ekor panjang, kijang, landan dan luwak. Sedangkan mamalia yang berukuran besar yang tinggal di area TNGM berupa, monyet, kijang, landak, garangan, lutung, babi hutan, trenggiling, kucing hutan, lutung, biul, rase, dan tupai terbang.
“Gangguan alam mengancam keberadaan satwa liar di area Merapi, berupa bencana erupsi yang terjadi secara periodik,” katanya.
Selain erupsi, gangguan yang bisa mengancam keberadaan satwa ini dengan banyaknya aktivitas manusia. Mulai dari perumputan, penambangan dan aktivitas wisata di wilayah ini.
Dalam disertasinya berjudul "Respon Mamalia Darat Ukuran Sedang-Besar pada Berbagai Tipe Gangguan di Lanskap Taman Nasional Gunung Merapi", mamalia berukuran sedang dan besar seperti monyet dan lutung atau kijang cenderung menghindar dan menjauhi area yang dekat dengan gangguan, baik permukiman maupun penambangan.
Satwa ini, cenderung berada di area tutupan rapat dan suka menjauhi permukiman atau penambahan. Selain itu juga banyak berada di lahan yang agak tinggi.
“Habitat paling luas dimiliki oleh kucing hutan yang menempati area seluas 5.000 hektare, luwak 4.700 hektare dan kijang pada area 3.000 hektare, baik di luar maupun di dalam kawasan taman nasional itu.
Menurutnya, kondisi habitat kijang saat ini mengalami fragmentasi akibat erupsi dan aktivitas di permukiman penduduk. Lokasi habitat tersebut berada di utara dan selatan Gunung Merapi.
“Gangguan paling tinggi terjadi pada habitat yang terdampak akibat gangguan aktivitas penambangan,” ujarnya.
Habitat dengan tingkat gangguan tinggi itu cenderung direspons dengan kekayaan jenis dan keragaman jenis mamalia yang rendah.
“Perlu dilakukan pengukuran kondisi mamalia secara aktif dan berkelanjutan untuk mengetahui dinamika dan perkembangan jumlah populasi dan habitat,” ujarnya.
Menurutnya, perlu adanya pengamanan kawasan untuk mencegah aksi perburuan, melakukan pengaturan dan penertiban terhadap aktivitas penggalian batu dan pasir untuk mencegah terjadinya fragmentasi habitat.
Editor : Kuntadi Kuntadi
Artikel Terkait