YOGYAKARTA, iNews.id - Buruh Indonesia yang bekerja di luar negeri rentan tidak mendapatkan hak-haknya. Dari sekitar 6 juta imigran, 80% di antaranya bekerja pada sektor informal. Sehinga mereka rentan tidak mendapatkan hak informasi, hak berkomunikasi, dan hak memperoleh pendidikan dan berlatihan serta berserikat.
"80% buruh kita itu bekerja informal, dan banyak yang menjadi pekerja rumah tangga," kata Kepala Pusat Riset dan Studi Migrasi Migrant CARE, Anis Hidayah, seusai menjadi narasumber dalam Seminar Kejahatan Transnasional yang terorganisir, Perspektif Hukum yang Multidimensial di UC UGM, Kamis (16/11/2017) siang.
Keberadaan buruh migran ini cukup dilematis. Pada 2016 lalu, mereka mampu membawa pulang devisa senilai Rp116 triliun. Namun mereka bekerja selalu mendapatkan perlakuan buruk dari majikannya. Mereka tidak pernah mendapatkan perlindungan sesuai predikat sebagai pahlawan devisa.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-31 ASEAN yang digelar di Manila, Filipina telah menghasilkan konsensus perlindungan bagi pekerja migran. Keputusan harus bisa dilaksanakan secara sungguh-sungguh di setiap negara dan tidak hanya menjadi dokumen semata.
"Harapan kita negara anggota Asean sungguh-sungguh menghormati apa yang disepakati karena semua ini untuk kepentingan warga negara Asean yang menjadi pekerja migran," harap Anis.
Indonesia juga telah menngesahkan UU tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia pada 25 Oktober. Regulasi ini diharapkan mampu menjadi pelengkap dari UU No 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Diharapkan para pekerja migran nantinya benar-benar mendapatkan hak atas informasi, hak komunikasi, hak memperoleh pendidikan dan pelatihan serta hak untuk berserikat.
“Harus ada kesungguhan pemangku kepentingan, peran masyarakat dan akademisi serta masyarakat sipil dalam mengawal pelaksanaan UU ini," tuturnya.
Editor : Kastolani Marzuki
Artikel Terkait