JAKARTA, iNews.id - Sejarah Kedirgantaraan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peristiwa Igning. Igning adalah nama panggilan Kapten Ignacio Espina yang dikenal sebagai ahli perang gerilya dan ditugaskan melatih tentara Indonesia di zaman penjajahan Belanda.
Kisah hidup anggota G-2 (Intel) Philippine Army itu berakhir tragis di Indonesia. Dia tewas bunuh diri di sebuah rumah di Yogyakarta.
Igning datang ke Indonesia pada bulan Agustus 1947 dengan menumpang pesawat C-47. Dikutip iNews.id, Kamis (24/2/20222) dari buku "Awal Kedirgantaraan di Indonesia, Perjuangan AURI 1945-1950", pesawat yang dilarikan Bob Freeberg pada bulan Juni 1947 itu, diberi registrasi Indonesia dan dikenal sebagai Pesawat RI-002.
Dia melatih tentara Indonesia atas permintaan Opsir Muda Udara III Muharto. Saat datang ke Indonesia, Igning juga membawa sepucuk tommy-gun yang disepuh chrome nickel. Senapan mesin ringan itu hadiah dari bagian Intel Filipina untuk Presiden Soekarno.
Muharto saat itu membawa radio transmitter untuk tetap mengadakan hubungan antara Yogya dan Manila. Tidak lama kemudian, Muharto dan Budiarjo berangkat bertugas ke Manila. Keduanya bersama antara lain enam orang kadet penerbang dan dua orang infiltran dari PHB AURI, yakni Sersan Udara Dhomber dan Sersan Udara Mulyono, untuk menyusup ke Kalimantan dari utara.
Sementara itu, Igning melatih anak-anak Tentara Pelajar (TP) dan Tentara Feni Pelajar (TGP). Dia didampingi Kapten PHB-ALRI, Deddy Muhardi Kartodirjo.
Igning tinggal di sebuah rumah yang sepi berhalaman luas, di Jalan Jetis, Yogyakarta. Suatu saat, Igning tampak tidak sebagaimana biasa. Wajahnya sering murung. Beberapa ucapannya menunjukkan kecurigaan. Dia kerap bertanya, misalnya, mengapa Muharto tidak memberi kabar?
Igning juga curiga, apa mungkin radionya sengaja dirusak sehingga tidak dapat berhubungan dengan Manila. Dugaan lain, kalau pesawat Muharto jatuh di Kalimantan, berarti dia tidak dapat pulang ke Manila. Igning mengira masuk perángkap komunis.
"Lebih baik saya bunuh diri", kata Igning saat itu.
Suatu malam, Muhardi mendapat panggilan dari George Reuneker, kapten AURI yang juga sering menemani Igning. Dia mendapat pesan untuk menghibur Igning yang disebut depresi dan kondisinya sudah gawat.
"Tolong hibur Igning. Lagi-lagi ia kesepian dan depresi gawat. Saya berhalangan," kata Reuneker kepada Muhardi.
Muhardi merasa turut bertanggung jawab karena menyadari yang membawa Igning ke Indonesia adiknya. Dia pun berangkat ke Jalan Jetis, Yogyakarta.
Beberapa saat kemudian, Igning ditemukan sudah tidak bernyawa. Peluru menembus kepalanya. Menurut hasil rekonstruksi, Muhardi yang tidak bersenjata menemui Igning.
Muhardi disebut melihat Igning mengacungkan senjata 45 automatic ke arah pelipisnya, hendak bunuh diri. Dia dengan cepat memukul tangan Igning.
Igning spontan menembakkan pistolnya ke arah kepala Muhardi yang tewas seketika. Dia diduga terkejut dengan reaksinya itu. Menyadari Muhardi yang tewas di tangannya, Igning lalu mengakhiri hidupnya sendiri.
Tidak ada indikasi hadirnya orang ketiga. Rekonstruksi dan kesimpulan ini merupakan hasil resmi dari penyelidikan para ahli dari Kepolisian dan Ilmu Kedokteran Kehakiman yang dipimpin oleh Prof Dr Sutomo Cokronegoro.
Kematian Igning dan Muhardi sampai ke telinga Muharto. Dia mendengar peristiwa tragis itu dari Budiarjo di Banda Makati, ketika RI-002 datang dari Yogya membawa delegasi RI untuk menghadiri ECAPE Conference di Baguio.
"Harto, Igning is dood, maar je broer is ook dood (Igning mati, tetapi kakakmu juga mati)", kata Budiarjo kepada Muhardi. Dia menangis saat menyampaikannya.
Seberat-berat mendengar kematian saudara sendiri, lebih berat tugas untuk menyampaikan berita itu kepada komandannya. Apalagi, Muhardi meninggal karena ditembak telinganya.
Malam itu juga, berita duka tersebut disampaikan kepada Mayor "Priming" Primitivo San Agustin, Deputy Kepala G-2 di HQ Philippine Army. Reaksinya kaget, kecewa campur marah.
Muharto pun tidak mengira sama sekali Mayor Priming mempunyai tafsiran kuat Igning dibunuh agen komunis, yang tidak lain adalah Muhardi, saudaranya.
Atas kecurigaan itu pula, Muharto diinterogasi sampai malam. Ada 12 orang yang menanyainya dengan penuh emosi dan bertele-tele.
Walaupun Muharto sudah berkali-kali menjelaskan dia baru tahu kematian saudaranya dan Igning dari orang lain, orang-orang G-2 tidak peduli. Mereka tak mau mengundang Budiarjo dan Brenthel Susilo yang membawa berita peristiwa tragis itu dan mengetahui masalahnya.
Namun, ada hal yang sangat disesalkan Muharto saat itu. Mengapa tidak ada pernyataan resmi dari yang berwenang sebagai penanggung jawab misi AURI ke Filipina kepada dirinya sebagai saudara kandung korban.
"Kalau atas dasar pertimbangan bahwa kedatangan Igning dalam rangka suatu operasi rahasia, tak mungkinlah menulis surat pribadi," tanya Muharto.
Setelah interogasi panjang dan melelahkan, akhirnya Intel Militer Filipina memutuskan jenazah Igning harus dikirim kembali untuk dimakamkan di Manila. Jika usul itu diterima AURI, maka hendaknya dinyatakan penyebab Igning meninggal bukan karena pembunuhan, melainkan suatu kecelakaan.
Akhirnya, jenazah Igning digali kembali. Jenazahnya dimasukkan ke dalam peti khusus untuk ekspor, setelah dia meninggal 30 hari sebelumnya.
Jenazah Igning diterbangkan dengan Pesawat RI-002 yang berangkat bulan November 1947. Pesawat yang membawa jenazah Igning dalam peti dari timah hitam itu bermanifest: Kapten Pilot Bob Freeberg, mantan pilot Angkatan Laut Amerika Serikat yang disewa pemerintah Indonesia, Navigator Opsir Udara II Muharto, Radio Operator Opsir Muda Udara II Budiarjo, Flight Engineer Lettu Sunaryo.
Sementara penumpang yang turut serta Mayjen Abdulkadir, Opsir Udara II Suyono dan istri, Opsir Udara III Iskandar dan istri, 20 orang siswa penerbang yang akan dilatih ke India.
Namun, perjalanan membawa jenazah Igning dengan rute Yogyakarta-Pekanbaru-Labuan hingga ke tanah airnya tidak mudah.
Editor : Maria Christina
Artikel Terkait