YOGYAKARTA, iNews.id - Warga Tuban, Jawa Timur yang kehabisan uang dan kehilangan pekerjaan usai menerima kompensasi lahan untuk kilang minyak PT Pertamina merupakan fenomena gegar budaya (shock culture). Pemerintah harus memberikan pendampingan dan menjadikan fenomena ini sebagai bahan pembelajaran.
“Warga ini belum bisa mengelola gegar budaya (shock culture) dengan baik,” kata Pakar Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Universitas Gadjah Mada (UGM) Hempri Suyatna, Rabu (26/1/2022).
Kejadian ini berawal pada Februari 2021 saat warga Desa Sumurgeneng, Kecamatan Jenu, Tuban, Jawa Timur menerima kompensasi pembebasan lahan untuk kilang minyak PT Pertamina. Mereka mendapatkan uang pengganti yang nilainya mencapai miliaran rupiah.
Masyarakat tidak mengelola uang dengan baik dan terjebak dalam budaya komsumtif. Mereka menggunakan uang untuk membeli mobil mewah dan membangun rumah yang cukup megah. Namun setelah satu tahun berjalan, mereka kehabisan uang dan tidak memiliki penghasilan.
Hempri mengatakan, masyarakat tidak siap menghadapi proses perubahan yang terjadi. Sayangnya tidak ada pendampingan dari pemerintah atau perusahaan di dalam mengelola uang ganti rugi tersebut.
“Budaya konsumtif dan budaya instan yang ada di masyarakat seringkali menyebabkan masyarakat tidak berpikir untuk jangka panjang,” kata Hempri.
Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di Tuban, namun di daerah lain yang ada proses ganti rugi lahan. Selama ini kompensasi dianggap selesai setelah warga menerima uang pengganti.
Tidak ada arahan dari pemerintah terkait penggunaan uang, menjadikan warga terjebak dalam budaya konsumtif. Jika membuka usaha cenderung sama dengan warga yang lain sehingga gagal dalam merintis usaha.
“Agar tidak terulang perusahaan bisa memberikan bekal keterampilan yang dapat mendorong masyarakat untuk merintis UMKM,” ujarnya.
Kasus di Tuban harus menjadi pelajaran untuk kedepannya. Jangan sampai proyek-proyek pembangunan justru memarginalisasikan masyarakat kecil dengan munculnya masyarakat miskin dan pengangguran.
“Pemerintah harus memberikan pendampingan manajemen keuangan dan membentuk mental masyarakat untuk berpikir jangka panjang. Jika mungkin kompensasi bisa berupa profesi profesi, pelatihan dan keterampilan,” ujarnya.
Editor : Kuntadi Kuntadi
Artikel Terkait