YOGYAKARTA, iNews.id - Diskriminasi konsumen terhadap produk tembakau marak terjadi dalam berbagai aspek kehidupan di masyarakat. Kondisi ini menjadikan dorongan revisi regulasi pertembakauan semakin banyak disuarakan konsumen.
Komisioner Ombudsman DIY, Agung Sedayu mengatakan diskriminasi konsumen trehadap produk tembakai ini sangat kentara. Mulai dari diskriminasi lingkungan kerja, layanan kesehatan hingga asuransi hingga pendidikan.
“Diskriminasi asuransi jelas ketika ada kaitan sakit karena rokok. Bahkan di lembaga pendidikan kedinasan seara eksplisit melarang peserta didik,” kata Agung pada Focus Group Discussion Wacana Revisi Regulasi: Praktik Diskriminasi Terhadap Perlindungan Hak Konsumen Produk Tembakau, Kamis (6/4/2023).
Pemerintah juga tidak memberikan akses lebih kepada konsumen tembakau. Mulai dari akses informasi produk tembakau, kebijakan hingga hak partisipasi dalam proses pembuatan kebijakan.
Semestinya pemerintah mendukung dan memberikan fasilitasi terhadap edukasi konsumen tentang produk tembakau. Bukan seperti saat ini yang melarang atau melakukan pembatasan.
Ketua Pakta Konsumen, Ary Fatanen mengatakan pemerintah telah mengeluarkan Keppres No 25 Tahun 2022 Desember terkait larangan penjualan rokok batangan. Hal ini menjadikan praktik diskriminasi dan pengabaian hak-hak ekonomi masyarakat.
Kondisi itu semakin mendorong masyarakat untuk melakukan revisi PP No 109 Tahun 2012. Setidaknya ada tujuh poin materi yang mayoritasnya adalah pelarangan total iklan, promosi dan sponsorship.
Konsumen sebenarnya siap berperan aktif dalam sosialisasi keijakan. Hanya saja, regulator dan stakeholder tak pernah merangkul dan melibatkan konsumen.
“Merokok adalah hak asasi manusia bagi perokok yang sudah dewasa. Regulasi yang ada menjadi bukti bentuk perilaku yang melanggar keadilan,” ujarnya.
Praktisi Periklanan, M Hafidullah mengatakan regulasi tenang pertembakauan telah mengakibatkan industri iklan sangat terpukul. Padahal mereka banyak menciptakan lapangan kerja. Pada 2017-2018 belanja iklan rokok mencapai Rp6-7 triliun.
“Ketika sekarang sudah beralih ke digital, pelarangan ke sana juga mulai ada,” katanya.
Menurutnya, larang iklan rokok ini bisa mematikan ekonomi. Ada ribuan tenaga kerja yang bisa kehilangan lapangan kerja.
Komite Tetap KADIN DIY Bidang Kebijakan Publik Detkri Bahiron mengatakan sesuai Undang-Undang Perlindungan Konsumen, seiap konsumen berhak mendapatkan keadilan, keamanan serta kepastian hukum.
“Revisi PP 109/2012, prinsipnya adalah pengendalian dan pengawasan. Bukan mengarah pada pelarangan total,” katanya.
Sosiolog UGM AB Widyanta mengatakan, konsumen perlu mengawal penyusunan regulasi agar adil, berimbang dan memberi kesempatan serta pelibatan dan perlindungan kepada seluruh konsumen. Jangan sampai ada konflik kebikakan yang ujungnya mengorbankan konsumen.
Pemerintah dalam membuat regulasi harus melakukan riset-riset dasar, holistik dan substansif terkait ekosistem pertembakauan.
Editor : Kuntadi Kuntadi
Artikel Terkait