GUNUNGKIDUL, iNews.id - Ritual pembukaan Cupu Panjala di Padukuhan Mendak, Desa Giri Sekar, Kecamatan Panggang, dilaksanakan Senin (31/10/2019) malam. Ritual ini dipercaya akan memunculkan gambaran peristiwa yang akan terjadi di masa yang akan datang.
Pembukaan Cupu Panjolo digelar di rumah milik Dwijo Sumarto, tokoh adat setempat. Pembukaan Cupu Panjolo biasanya dilaksanakan setiap malam Selasa Kliwon di bulan Muharam atau bulan Suro dalam penanggalan Jawa. Namun kali ini di luar bulan sakral tersebut.
Lurah Girisekar, Sutarpan mengatakan, pembungkus Guci Kecil (Cupu) tersebut selalu diganti setiap tahunnya, yaitu setiap malam Selasa Kliwon pada bulan Suro atau sesudah bulan Suro. Sebagian masyarakat masih percaya untuk melihat masa depan melalui perlambang (tanda) guratan dan coretan samar-samar dalam lembar demi lembar kain kafan pembungkus tiga Cupu (semacam guci kecil).
"Kali ini memang tidak dilaksanakan di bulan Suro," ujarnya.
Pembukaan cupu panjolo tidak harus di bulan suro. Namun yang pasti, setiap menghadapi musim tanam pertama. Biasanya di bulan September atau oktober atau menjelang musim penghujan.
Pembukaan kali ini, ternyata hampir semua kain pembungkus dibuka dalam keadaan kering. Hanya satu lembar saja yang lembab. Padahal biasanya hampir semua kain pembungkus panjolo tersebut dibuka dalam keadaan lembab.
Juru Kunci Cupu Kyai Panjolo, Dwijo Sumarto mengatakan, dulu ada lima buah Cupu ada di wilayah tersebut. Dua di antaranya hilang dan yang tersisa masing-masing bernama Semar Tinandu, Palang Kinantang dan Kenthiwiri sementara Bagor dan Klobot hilang.
"Bagor dan Klobot dalam bahasa Jawa adalah Karung dan Kulit Jagung. Karena merasa sangat biasa dan tidak ada penghormatan dalam nama Bagor dan Klobot pun hilang secara misterius," ujarnya.
Dwijo menjelaskan Kenthiwiri adalah Cupu terkecil gambaran untuk rakyat kecil atau kawulo alit. Semar Tinandu adalah Cupu paling besar sebagai gambaran keadaan penguasa dan pejabat tinggi, Palang Kinantang adalah cupu menengah sebagai gambaran untuk masyarakat menengah. Karena Cupu tersebut dianggap keramat maka selalu dibungkus dengan kain kafan dan selalu diganti dengan yang baru setiap tahunnya.
Dari cerita yang ada, Cupu Kiai Panjolo didapat Eyang Seyek nama asli Kiai Panjala saat menjala ikan di lautan sekitar 550 tahun yang lalu. Saat itu Eyang Seyek diketahui hidup sebatangkara dan tidak beristri namun memiliki 10 saudara kandung, Iima perempuan dan Iima Iaki-laki.
Dwijo Sumarto merupakan keturunan ke tujuh dari saudara Eyang Seyek yang kini diserahi tugas mengurus Cupu Kyai Panjala. Kakek buyutnya saudara kandung Eyang Seyek, maka ia menjadi bagian dari ahli waris Cupu Kyai Panjolo.
Sampai saat ini Cupu Kyai Panjala diyakini sebagai simbol atau alat peramal kondisi atau kejadian bangsa Indonesia dalam masa setahun ke depan. Prosesi penggantian kain kafan selalu ditunggu masyarakat, terutama ketika pembukaan Cupu Kyai Panjolo.
Sang juru kunci akan membuka lembar demi lembar kain kafan sebagai singkep pembungkus Cupu dalam sebuah kotak kayu. Kain kafan yang awalnya putih tersebut setelah digunakan membungkus Cupu Kiai Panjala akan menampakkan berbagai gambar.
"Gambar-gambar tersebut sering membentuk simbol, yang diartikan sebagai gambaran masa depan. Namun boleh percaya dan boleh tidak, saya tidak boleh mengatakan, nanti saja setelah berjalan dan ada kejadian bisa dikaitkan ramalan Cupu Kyai Panjolo terbukti apa tidaknya," tuturnya.
Dalam pemukaan singkep Cupu Kyai Panjolo, ada 58 gambar yang terlihat. Beberapa gambar menampakkan seorang putri memakai pakaian penari, huruf L, dan binatang dan bulan. Selain itu juga ditemukan gambar telapan kaki, pohon jagung tanpa daun, hingga anak kecil merangkak.
Editor : Kuntadi Kuntadi
Artikel Terkait