KULONPROGO, iNews.id - Roti merupakan salah satu makanan istimewa pada zaman penjajahan Belanda. Roti hanya dinikmati kaum bangsawan yang tidak pernah bisa dinikmati masyarakat biasa.
Salah satu roti ini adalah roti kolombeng yang terbuat dari tepung tapioka, dicampur gula. Roti kolombeng kini semakin jarang ditemui di pasar. Di Kulonprogo roti ini masih diproduksi keluarga Giman yang tinggal di Pedukuhan Diran, Kalurahan Sidorejo, Kapanewon Lendah. Usaha inipun sudah diwariskan kepada dua anaknya.
Menurut Giman (80), Roti kolombeng berasal dari kata Kolo Emben yang berarti zaman dulu. Tidak tahu pasti siapa yang memberikan nama ini, namun dia sudah memproduksi roti ini pada tahun 1962 silam.
“Dulu saja itu ikut orang membuat roti ini di Pakualaman. Lama-lama saya membuat sendiri di rumah,” katanya, Rabu (2/11/2022).
Roti ini dibuat dengan bahan utama tepung tapioka yang dicampur dengan gula, telur ayam dan sedikit terigu dan soda. Setelah adonan jadi kemudian dimasukkan ke dalam cetakan dari besi dan dibakar. Proses memasaknya menggunakan oven yang terbuat dari tanah liat. Pada bagian bawah berupa tungku dengan bara arang kayu yang di atasnya diletakkan wadah dari gerabah. Sedangkan pada bagian atasnya kembali ditutup dengan gerabah yang juga berisi arang yang bara.
Proses pemanasan dari dua sisi ini menjadikan roti cepat mengembang. Hanya sekitar lima menit roti ini sudah matang sempurna dan bisa diambil.
“Masaknya masih dengan cara tradisional dengan menggunakan arang dan bahan-bahan dari gerabah,” katanya.
Untuk membuat adonan dia menggunakan 7 kilogram tepung, 7 kilogram telur dan 5 kilogram gula. Satu set bahan ini akan menghasilkan roti kolombeng sekitar 600-650 unit. Roti ini bisa bertahan hingga sepekan dan jarang ditumbuhi jamur.
“Roti ini banyak dipasarkan di Bantul, Imogiri. Kalau lokal biasanya datang langsung,” katanya.
Dengan mahalnya bahan baku, roti ini dijual dengan harga Rp1.000 per unit. Sebelum lebaran masih dijual dengan harga Rp800.
Giman mengaku roti ini dulu banyak dipakai untuk kegiatan selamatan atau hajatan seperti pernikahan, kelahiran ataupun kematian. Namun dulu paling sering dipakai untuk acara kematian seperti kenduri atau sesaji sehingga roti ini dikenal dengan rotinya orang mati.
“Saat bulan Ruwah (Syaban) permintaan di Solo bisa 7.000 unit per hari. Tradisi Ruwahan di sana masih ada,” katanya.
Meski sudah ketinggalan zaman, Giman tetap memproduksi roti kolombeng ini. Roti ini masih banyak diburu oleh konsumen khususnya lansia yaang kangen dengan roti ini. Untuk membuat roti ini, dia dibantu dua orang karyawan dengan keuntungan Rp40.000 sampai Rp50.000 dalam satu kali adonan.
Editor : Kuntadi Kuntadi
Artikel Terkait