YOGYAKARTA, iNews.id – Sosiolog UGM, Arie Sujito menyebut mulai muncul gejala pengulangan narasi politik berbasis kebencian. Narasi ini sebelumnya pernah muncul dalam dua kali pilpres.
Narasi ini menggunakan model pembelahan sosial dengan konstruksi stereotype sebuah kelompok ini dengan narasi agama, etnis, dan golongan sebagai komoditas politik dukung mendukung.
“Hampir semua media sosial bahkan di beberapa media mulai muncul narasi yang lagi-lagi basisnya adalah konstruksi strereotype. Umpat-umpatan, hate speech, hoax, mulai deras mengalir ke percakapan sehari-hari kita lewat online maupun offline,” kata Arie kepada media di Yogyakarta, Jumat (4/11/2022).
Menurut Arie, reproduksi kebencian dan jejak rivalitas berdasar kelompok dan identitas ini, tidak hanya dilakukan oleh kalangan awam saja. Namun juga kelas menengah terdidik hingga golongan terpelajar di kampus.
“Semua seperti kehilang akal untuk membuat pertanyaan dan ide tentang problem bangsa. Politisi juga sama, mengalami pendangkalan melihat problem secara jernih, dan selalu menyalahkan teman sendiri hanya gara-gara perbedaan identitas,” kata Arie.
Setidaknya ada 3 hal penting yang bisa dibaca dari munculnya gejala narasi politik kebencian ini. Pertama, ada kelompok-kelompok lama yang memang sengaja membelihara politik berbasis kebencian agar bisa survive. Satu-satunya yang dia bisa hanyalah dengan memelihara politik identitas berbasis kebencian itu.
Yang kedua, media dan publik terlalu terpukau oleh manuver-manuver elit kandidat yang mau maju. Misalnya soal deklarasi, pertemuan dukungan, dan manuver politik pilpres. Padahal, ada masalah-masalah mendasar negara yang tidak bisa selesai hanya dengan sosok figur tanpa mengurai masalahnya.
Dan ketiga, pendekatan yang selama ini dipakai untuk mentransformasikan politik demokrasi kurang berhasil gara-gara tidak mengkoreksi pendekatannya karena hanya mengandalkan pendekatan hukum yang elitis.
“Sebaliknya pendekatan sosio kultural, bagaimana mencegah pendangkalan politik ini tidak ada yang melakukannya. Semestinya semuanya mmeiliki cara bagaimana membuat masyarakat terlibat aktif dalam upaya pencegahan pendangkalan politik yang berbasis kebencian ini,” kata Arie.
Bangsa Indonesia saat ini telah kehilangan energi untuk menghadapi masalah sesungguhnya, seperti resesi dunia, perubahan iklim, ketimpangan, kemiskinan, dan isu kesehata. Pimpinan partai maupun para calon kandidat harus berkomitment untuk menghentikan narasi politik identitas di pilpres 2024.
“Kita tidak ekstrim dengan deklarasi, tetapi harus diimbangi dengan narasi baru tentang Indonesia masa depan. Bagaimana menghadapi masalah-masalah riil dan konkrit yang ada di depan mata,” katanya.
Editor : Kuntadi Kuntadi
Artikel Terkait