YOGYAKARTA, iNews.id- Upacara Tumplak Wajik, salah satu tradisi yang masih dipertahankan oleh Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat hingga kini. Ritual ini menjadi penanda dimulainya upara grebek di Keraton Ngayojokarto Hadiningrat.
Pengageng Tepas Dwarapura Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat, KRT Jatiningrat menjelaskan makna dari Tumplak Wajik atau Numplak Wajik. Secara fisik memang me-numplak (meletakkan) wajik pada tempat yang telah disediakan. Biasanya upacara ini menandai dimulainya rangkaian upacara grebeg.
"Setiap grebeg kita mulai, pasti didahului dengan upacara Numplak Wajik ini," kata dia.
Lelaki yang dikenal sebagai Romo Tirun ini menjelaskan Tumplak Wajik atau Numplak Wajik merupakan upacara yang menandai dimulainya proses merangkai gunungan, simbol sedekah raja kepada rakyat. Nantinya, gunungan tersebut akan diarak dan dibagikan kepada warga pada upacara grebeg.
Dalam setahun Keraton Yogyakarta menggelar tiga kali upacara Grebeg Mulud untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad, Garebeg Sawal menandai akhir bulan puasa, dan Grebeg Besar untuk memperingati Hari Raya Idul Adha. Karena dalam setiap Garebeg tersebut keraton selalu mengeluarkan gunungan untuk dibagikan.
"Karena grebek dilaksanakan setahun tiga kali, maka dalam setahun tiga kali pula Keraton Yogyakarta menggelar upacara Numplak Wajik pada bagian dalam Gunungan Estri (perempuan)," ujarnya.
Berbeda dengan gunungan yang lain, Gunungan Estri memiliki satu bakul Wajik yang kini disusun berlapis dengan Tiwul di dalamnya. Wajik adalah sejenis makanan terbuat dari ketan yang direbus dengan gula merah dan santan kelapa sedangkan Tiwul adalah makanan yang dibuat dari tumbukan singkong kering.
Wajik dan Tiwul ini sekaligus juga berfungsi sebagai pondasi bagi mustaka (bagian atas) gunungan. Kue-kue ketan yang menjadi bagian atas gunungan tersebut dipacak (ditancapkan) pada sujen (batang kecil panjang yang terbuat dari bambu).
Sujen-sujen ini kemudian diikatkan pada sebatang kayu yang bagian bawahnya nanti ditancapkan pada Wajik tadi. Proses numplak, yakni menuang seluruh adonan wajik dengan cara membalikkan wadahnya inilah yang menjadi inti dari upacara Tumplak Wajik.
"Proses persiapan pembuatan gunungan sendiri sudah dilakukan sekitar dua bulan sebelum Grebeg," ujarnya.
Untuk proses pembuatannya dimulai sekitar satu bulan sebelum Grebeg Numplak Wajik sendiri dilaksanakan sore hari. Tepatnya selepas waktu Ashar, sekitar pukul 15.30, bertempat di Panti Pareden Kilen yang terletak di pojok barat daya Plataran Kemagangan, tiga hari sebelum grebeg berlangsung.
Menjelang upacara Tumplak Wajik dilaksanakan, kerangka dan mustaka gunungan telah diletakkan di Panti Pareden. Ada abdi Dalem yang bertugas menjalankan upacara-upacara adat keraton juga telah hadir lebih dahulu.
Tidak jauh dari pagar Panti Pareden, disiapkan sebuah lesung besar dan beberapa alu penumbuk. Sekitar pukul 15.30, rombongan Abdi Dalem Keparak yang dipimpin oleh seorang Putri Dalem (putri Sultan), atau saudari Sultan yang ditunjuk datang dari utara melalui Kemagangan.
"Kedatangan mereka diiringi oleh gejog lesung yang dimainkan Abdi Dalem," ujarnya.
Lesung adalah tempat menumbuk padi terbuat dari gelondongan kayu besar dipukul oleh beberapa alu dengan irama tertentu sehingga menghasilkan musik yang dipercaya dapat menolak bala. Setelah rombongan tersebut duduk di dalam Panti Pareden, maka upacara pun siap dimulai.
Upacara Numplak Wajik dibuka dengan doa yang dipimpin oleh Abdi Dalem Kanca Kaji. Setelah itu Abdi Dalem Kanca Abang mempersiapkan Jodhang. Jodhang adalah landasan gunungan dari kayu yang nantinya digunakan untuk mengangkut gunungan tersebut.
Gejog lesung pun kembali terdengar. Irama Gendhing (lagu) Tundhung (mengusir) Setan yang dimainkan menggunakan lesung dan alu tersebut terus mengalun selama prosesi berlangsung.
"Sebakul besar Wajik ditumplak pada jodhang, bentuknya serupa silinder dengan ketinggian sekitar pinggul orang dewasa," kata dia.
Rangka Gunungan Wadon yang terbuat dari bambu kemudian dipasang, diikat erat pada pasak besi yang terdapat pada jodhang mustaka gunungan yang telah dipersiapkan sebelumnya dianeka janur ditancapkan pada Wajik tadi.
Abdi Dalem Keparak mengoles lulur yang terbuat dari dlingo dan bengle pada jodhang. Sinjang (kain panjang) songer kemudian dililitkan pada rangka gunungan. Lilitan tersebut kemudian diikuti lilitan semekan (kain penutup dada perempuan) bangun tulak.
Gejog lesung berhenti dimainkan, pertanda upacara telah selesai. Lulur dlingo bengle kemudian dibagikan kepada abdi dalem yang bertugas serta pengunjung yang hadir. Tidak lama kemudian, sinjang songerdan semekan bangun tulak dilepas kembali.
"Dalam kepercayaan tradisional masyarakat Jawa, dlingo dan bengle adalah empon-empoan (rempah-rempah) yang aromanya tidak disukai oleh mahluk halus," ungkapnya.
Ia menyebut, gejog lesung dan lulur dlingo bengle berfungsi untuk penolak bala, ungkapan permohonan pada Yang Maha Kuasa agar rangkaian upacara yang diselenggarakan dapat lancar tanpa kendala.
Editor : Ainun Najib
Artikel Terkait