YOGYAKARTA, iNews.id – Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Yogyakarta menemukan material berbahaya seperti rhodamin, boraks ataupun formalin dalam makanan ataupun bahan makanan yang dijual di pasar-pasar tradisional. Petugas mengambil sampel bahan makanan dan makanan lantas mengujinya di laboratorium.
Kepala BBPOM Yogyakarta, Rustyawati, mengatakan menjelang natal dan tahun baru, petugas telah melakukan pantauan di enam pasar tradisional. Di antaranya Pasar Argosari, Gunungkidul; Pasar Kranggan dan Pasar Beringharjo, Yogyakarta; Pasar Bendungan, Kulonprogo; Pasar Pakem, Sleman dan Pasar Piyungan, Bantul.
Jelang Ramadan, Makanan Berformalin dan Boraks Banyak Beredar di DIY
“Dari enam pasar ini diambil 90 sampel dan diuji laboratorium, sebanyak 14 sampel mengandung formalin, boraks dan rhodamin B,” kata Rustyawati, di Kepatihan, Yogyakarta, Senin (16/12/2019).
Dia menyebutkan di Pasar Argosari, dari 13 sampel yang diambil, tiga di antaranya positif mengandung formalin. Ketiganya berupa ikan teri dan cumi asin.
Bebas Makanan Berbahaya, BPOM Bakal Jadikan Wates Pasar Percontohan
Di Pasar Kranggan dan Bringharjo, 14 sampel ada dua yang positif. Keduanya berupa kue mangkok yang mengandung rhodamin B dan teri nasi yang mengandung formalin.
Selanjutnya, di Pasar Pakem Sleman, dari 20 sampel, enam di antaranya mengandung bahan berbahaya. Ada teri nasi, kerupuk, cumi asin dan ikan balur asin yang postif mengandung formalin dan rhodamin B.
Sementara di Pasar Piyungan, dari 18 sampel ada tiga makanan yang mengandung zat berbaya. Di antaranya kerupuk bawang, teris nasi dan kerupuk sermier yang mengandung boraks, formalin dan rhodamin B.
“Khusus di Pasar Bendungan, dari 25 sampel yang diuji, tidak ada satupun yang mengandung zat berbahaya hasilnya negatif,” katanya.
Rustyawati mengatakan, pantauan ini dilakukan untuk memastikan bahan pangan yang beredar aman dari kandugan berbahaya. Dari total keseluruhan, terjadi penurunan jumlah kasus makanan dan bahan makanan mengandung zat berbahaya.
“Dari 2018 sebanyak 22 persen, kini hanya 16 persen saja,” katanya.
Editor: Umaya Khusniah