Dosen UGM Sebut Maraknya Aksi Klitih karena Dampak Covid-19, Begini Penjelasannya

YOGYAKARTA, iNews.id - Dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhammad Nur Rizal melihat fenomena kejahatan jalanan atau kerap disebut klitih muncul karena perubahan dan tekanan akibat pandemi Covid-19. Kondisi ini membuat anak-anak remaka sulit memenuhi kebutuhan untuk menyalurkan ekspresinya.
”Banyak remaja harus menghadapi perubahan dinamika di dalam keluarga, sekolah, relasi pertemanan, serta lingkungan masyarakat. Dalam situasi yang cukup kompleks, anak sulit untuk memenuhi kebutuhannya untuk berekspresi,”kata Nur Rizal, Senin (18/4/2022).
Rizal yang merupakan inisiator Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) DIY menyebut manusia butuh aktualisasi diri. Ketika pembelajaran dilaksanakan sepenuhnya secara daring, banyak aktivitas yang dapat menjadi ruang untuk berekspresi, berkarya, dan berinteraksi hilang. Demikian juga ruang interaksi di lingkungan masyarakat.
Anak banyak menghabiskan waktu di rumah, namun yang menjadi permasalahan banyak keluarga tidak memiliki relasi yang baik. Banyak orang tua mengalami efek pandemi dan terpuruk secara ekonomi sehingga mereka lupa untuk membangun kedekatan dan komunikasi yang intensif dengan anak.
“Ketika ruang interaksi dan partisipasi berkurang, anak lari ke dunia teknologi. Bagi sejumlah anak, ketika dia terpapar pada hal-hal negatif dia kemudian mencoba menerapkannya,” katanya.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi ikut membawa perubahan pada perilaku kejahatan, termasuk aksi klitih. Aksi ini dilakukan secara berkelompok maupun individu.
Untuk mencegah terjadinya aksi ini, perlu diciptakan lingkungan yang positif. Perlu ada lingkungan yang memberi rasa aman bagi siswa untuk melakukan kegiatan sesuai dengan kodratnya sebagai manusia. Selain itu juga perlunya peran masyarakat dalam membangun kegiatan yang partisipatif.
”Perlu membangun penalaran dan kesadaran anak, memperbanyak ruang refleksi dalam proses belajar dan mendorong anak untuk mengenali potensi, keunikan, serta emosinya,” katanya.
Anak perlu banyak terlibat dalam kegiatan belajar yang berbasis masalah. Mereka harus didorong untuk melakukan aktivitas yang positif bagi masyarakat. Anak tidak boleh teralienasi dari masyarakat.
“Belajar membangun rasa empati sejak muda, membuat mereka mengerti ilmu pengetahuan, keterampilan diri, dan kompetensi sosialnya bermanfaat bagi orang lain,” katanya.
Editor: Kuntadi Kuntadi