Indonesia Masih Kekurangan 30.000 Dokter Spesialis akibat Terganjal Proses Pendidikan
YOGYAKARTA, iNews.id- Dirjen Tenaga Kesehatan Kemenkes RI, drg Arianti Anaya disparitas (kesenjangan) pemenuhan dokter spesialis masih terjadi di Indonesia. Akibatnya, Indonesia saat ini mengalami krisis kekurangan 30.000 lebih dokter spesialis.
Penyebabnya, adalah panjangnya proses pendidikan untuk menjadi seorang dokter spesialis. Hal ini disampaikannya pada acara webinar bertajuk Urgensi Pendidikan Terintegrasi untuk Pemerataan Pelayanan Kesehatan yang diselenggarakan oleh PKMK-FKKMK UGM, pada Sabtu pekan lalu.
Menurutnya, Indonesia bisa menutupi kekurangan tersebut, namun dengan waktu yang sangat lama, dengan catatan terpenuhinya penyelanggaraan pendidikan dokter spesialis di setiap kampus.
"Kita membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun untuk memenuhi jumlah dokter spesialis tersebut dengan asumsi jumlah penyelenggara prodi dokter spesialis sebanyak 21 dari 92 fakultas kedokteran dengan menghasilkan lulusan spesialis sekitar 2.700 tiap tahun," papar Arianti.
Selain masalah itu, Arianti menyebut bahwa saat ini persebaran dokter spesialis pun belum merata karena 59 persen masih berada di Pulau Jawa. Sementara wilayah Indonesia bagian Timur jumlah dokter spesialis masih terbatas.
Sejalan dengan Arianti LLM dari Fakultas Kedokteran UI Herkutanto menilai sulitnya seleksi dan proses program pendidikan dokter spesialis juga menjadi hambatan bagi dokter yang ingin meneruskan pendidikannya. Oleh karenanya, negara harus andil dalam hal memproduksi tenaga kesehatan handal.
“Negara harus bisa melihat pentingnya dokter spesialis saat ini bagi masyarakat. Sama halnya dengan produksi tenaga militer, perlu ada penanganan berbeda dibandingkan pendidikan lain karena ini terkait langsung dengan keselamatan masyarakat dan bangsa," tutur Herkutanto.
Hal serupa juga diungkapkan oleh ketua Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI), Dr. dr. Setyo Widi Nugroho, dirinya mengatakan, untuk bisa mendorong produksi tenaga medis bukan perkara mudah karena bagaimanapun terdapat proses panjang untuk menghasilkan tenaga medis yang berkualitas. Adanya peningkatan produksi, tentu tidak mengesampingkan aspek kredibilitas.
"Kami terinspirasi dari Health Education of England (HEE), bahwa untuk melakukan suatu produksi, kita harus meyakinkan bahwa jumlah tenaga kerja harus tepat jumlahnya, tepat keterampilannya, dan memberikan pelayanan yang baik, serta mampu beradaptasi dengan teknologi," ungkap Setyo Widi.
Mereka menyimpulkan, bahwa dalam mengatasi persoalan tersebut diperlukan adanya kerja sama konektivitas antara pemerintah dan institusi pendidikan untuk melahirkan tenaga kesehatan dengan cepat tanpa mengesampingkan kualitas yang dihasilkan.
Editor: Ainun Najib