Jeep Willys Pernah Digunakan Sri Sultan HB IX Dilelang, Buatan Amerika Tahun 1945
                
            
                SEMARANG, iNews.id – Soegijapranata Catholic University (SCU) atau Unika Soegijapranata Semarang menggelar pameran fotografi karya Yusuf Bilyarta Mangunwijaya atau dikenal Romo Mangun. Salah satu yang dipamerkan, yaitu mobil Jeep Willys tahun 1945 buatan Amerika.
Jip tua itu dulu dipakai oleh Sri Sultan Hamengkubuwono (HB) IX. Saat itu Romo Mangun sebagai sopirnya.
                                    Jip berwarna hijau hitam tersebut dipamerkan di selasar Gedung Thomas Aquinas Kampus SCU Bendan, Kota Semarang, Jawa Tengah. Jip ini dilelang untuk umum.
“Kami sedang mengusulkan Romo Mangun untuk jadi pahlawan nasional, butuh biaya, mobil jip ini dilelang untuk biayai itu,” ujar Rektor SCU Ferdinandus Hindiarto di lokasi, Senin (18/11/2024).
                                    Jip itu awalnya sempat hilang jejak. Pada Mei 1998 selepas kerusuhan Jakarta, beberapa sahabat Romo Mangun sempat menemuinya menggunakan jip. Romo Mangun kemudian berkomentar menyukai Jip Willys tua yang sempat digunakan Sri Sultan Hamengkubowono IX.
Sejak itu, koleganya dan donatur melacak jejak jip tersebut dan ditemukan di Cimahi, Jabar. Kemudian jip dibeli dan diserahkan ke Romo Mangun sebagai hadiah.
“Saat ini ahli waris sudah menyerahkan ke Keuskupan Agung Semarang, jadi (warisan Romo Mangun) dikelola Keuskupan Agung Semarang,” kata Ferdi, sapaan Rektor SCU.
Ferdi menyampaikan, telah membentuk panitia nasional untuk mendorong Romo Mangun jadi pahlawan nasional. SCU bekerja sama dengan 2 kampus Unika lainnya, yakni Atmajaya Jakarta dan Sanata Dharma Yogyakarta.
“Ini kan perlu diseminasi, kajian-kajian, prosesnya masih panjang di Departemen Sosial (Kemensos),” kata Ferdi.
Pameran ini sengaja digelar juga untuk memperingati 25 tahun meninggalnya Romo Mangun. Dia tokoh multidimensional, dari tentara pelajar, pastor, arsitek, novelis, dosen alias pendidik dan pekerja kemanusiaan yang bergumul dengan penderitaan masyarakat bawah.
Romo Mangun memang tercatat pernah terlibat perang melawan Belanda. Tahun 1945, ketika usianya 16 tahun, dia menjadi prajurit Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Batalyon X Divisi III di bawah Komandan Soeharto. Dia bertugas di asrama Militer di Benteng Vredeburg lalu di asrama militer Kotabaru, Yogyakarta dia ikut bertempur di Ambarawa, Magelang dan Mranggen.
Pada 1946 dia melanjutkan sekolah di STM Jetis Yogyakarta, menjadi prajurit Tentara Pelajar dan pernah bertugas menjadi sopir pendamping Panglima Perang Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Saat Agresi Militer Belanda I, dia tergabung dalam Tentara Pelajar Brigade XVII sebagai Komandan TP Kompi Kedu.
Dia juga menceritakan, kiprah Romo Mangun tak bisa lepas dari permukiman masyarakat miskin Tepi Kali Code Yogyakarta dan Waduk Kedung Ombo, Grobogan. Romo Mangun menata permukiman miskin itu, sesuai dengan keahliannya di arsitektur dan berdiri paling depan saat pembangunan Waduk Kedung Ombo membela warga.
Pada konteks karya sastra, salah satu karyanya yakni novel Burung-Burung Manyar sangat fenomenal. Sebagai pendidik, dia juga yang menginisiasi Sekolah Mangunan, di Kalasan Yogyakarta, yakni sekolah TK, SD, SMP yang kurikulumnya sangat Indonesia.
Menurutnya, kiprah Romo Mangun itu sudah melebihi batas-batas perbedaan agama. “Jadi Romo Mangun ini adalah model yang bisa kita jadikan panutan bagaimana hidup di negeri ini, mudah-mudahan lewat pameran ini bisa menginspirasi Gen-Z, dari yang awalnya tidak kenal, sudah mulai kenal Romo Mangun,” ucapnya.
Wakil Rektor Kerja Sama dan Pengembangan Bisnis SCU R. Probo Yulianto Nugrahedi mengenang ketika pemakaman Romo Mangun. “Pawainya (yang mengiringi) mengular, pas lewat tepi Kali Code itu, banyak ibu-ibu menangis, menaburi bunga,” kenang Probo.
Dia menjelaskan. di SCU nantinya pameran juga diramaikan dengan seminar pada 25 November 2024 mendatang. Acara diketuai Christian Moniaga, sementara tim fotografi pameran karya Romo Mangun itu merupakan 3 mahasiswa arsitektur SCU, yakni; Prathama Ivan Saputra, Pramudya Satria Nugraha dan Bily Sugianto.
Editor: Kurnia Illahi