YOGYAKARTA, iNews.id - Ribuan mahasiswa dari berbagai kampus di Yogyakarta akhirnya mengakhiri aksi #GejayanMemanggil dengan damai dalam Senin (23/9/2019). Mereka membubarkan diri setelah membacakan ikrar dan pernyataan sikap.
Selain membubarkan diri setelah lima jam berdemo, sejumlah mahasiswa tampak memunguti sampah yang tersisa. Mereka memasukkan sampah ke dalam plastik hitam yang sengaja mereka bawa.
6 Fakta tentang Gejayan, Lokasi Aksi Demonstrasi Gejayan Memanggil di Yogyakarta
Koordinator Umum Aliansi Rakyat Bergerak (ARB), Rico Tode mengatakan aksi ini diikuti sekitar 20 ribu mahasiswa dari berbagai kampus. Tidak hanya kampus di Yogyajarta namun juga dari Magelang, Klaten hingga Semarang.
"Aksi hari ini bagian kegelisahan publik masyarakat se-nusantara. Ada persoalan rakyat dari Sabang sampai Papua," katanya.
Ada beberapa regulasi yang dibuat baik oleh eksekutif dan legislatif, tidak lagi berpihak kepada rakyat. Mulai dari revisi UU KPK, RUU KUHP hingga UU Pertanahan.
Rico menambahkan, melalui aksi ini, mahasiswa juga mendorong agar RUU Kekerasan Seksual segera ditetapkan, mengingat banyak perempuan menjadi korban kekerasan.
“Saat ini negara masih membelenggu masyarakat untuk menyampaikan pendapatnya sebagai bagian dari demokrasi. Banyak aktivitis ditangkap dan mendapatkan perlakuan represif,” kata Rico.
Kriminalisasi juga masih dilakukan dengan memenjarakan aktivis yang menyuarakan aspirasi masyarakat. “Semestinya pendapat juga dilawan dengan pendapat bukan malah memenjarakan dan mengkriminalisasikan masyarakat,” katanya.
Seperti diketahui, ribuan massa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) melakukan aksi demo #GejayanMemanggil pada Senin (23/9/2019). Massa yang didominasi mahasiswa dari berbagai universitas di Yogyakarta dan sekitarnya ini berkumpul di pusat di pertigaan Jalan Colombo Gejayan.
Massa aksi menyuarakan aspirasinya terkait Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), UU KPK, kerusakan lingkungan, RUU Ketenagakerjaan, RUU Pertanahan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), dan penangkapan aktivis.
Editor: Umaya Khusniah












