Pernah Jadi Sarang PKI, Begini Sejarah Kompleks Masjid Jogokariyan
YOGYAKARTA, iNews.id - Kampung Jogokariyan yang terletak di Jalan Jogokariyan, Kemantren Mantrijeron, Kota Yogyakarta saat ini identik sebagai kampung islami. Namun siapa sangka bahwa di lokasi ini dahulunya merupakan kampung basis simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ketua Dewan Suro Takmir Masjid Jogokariyan, Ustaz Muhammad Jazir mengatakan, kampung ini awalnya adalah tanah palungguh atau perumahan dinas bagi abdi dalem Prajurit Jogokaro. Pembukaan kawasan ini berlangsung pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IV sekitar tahun 1822 atau tiga tahun sebelum terjadinya perang Diponegoro.
Pada mulanya, masyarakat kampung Jogokariyan umumnya bernuansa abangan karena pengaruh keraton yang masih sering melakukan praktik-praktik tradisi Jawa. Dari tahun ke tahun, perkampungan ini mulai berkembang.
Perubahannya cukup signifikan ketika para prajurit menjual tanahnya kepada para pedagang kaya. Sementara, prajurit yang merupakan warga asli justru hidup miskin dan serba kekurangan.
Melihat situasi tersebut, PKI memanfaatkannya dengan memberikan banyak bantuan kepada para prajurit. Hal itu lantas mendapat sambutan dari mantan prajurit karena mampu meningkatkan taraf ekonomi mereka.
Sejak saat itu, PKI menjadi lebih gencar mengampanyekan ideologi mereka. Salah satunya dengan menggelar ketoprak dengan lakon Mati Ne Gusti Allah (Matinya Allah SWT). Sejak saat itu, partisipan komunis pun semakin berkembang.
"Bahkan, dahulu salah satu pimpinan PKI Kota Yogyakarta, Suprapto bersama keluarganya juga tinggal di kampung Jogokariyan," katanya, Minggu (01/10/2023).
Pada masa penumpasan PKI tahun 1965 yang dikenal sebagai peristiwa G30S/PKI, seluruh warga Jogokariyan yang dianggap sebagai simpatisan PKI ditumpas. Jazir menyebut beberapa di antaranya ditahan di Pulau Buru.
Peristiwa G30S/PKI itu kemudian menjadi titik balik perubahan karakter masyarakat di kampung ini. Hingga akhirnya didirikan masjid Jogokariyan.
"Di tahun 1685, anggota PKI yang dulu ditahan kemudian kembali ke sini (kampung Jogokariyan) dan kembali berinteraksi dengan masyarakat dan masyarakat pun menerima mereka sepenuhnya tanpa ada label-label PKI," katanya.
Dia menyebut, saat ini eks simpatisan komunis sebagian besar ikut aktif dalam kegiatan keagamaan di masjid. Setidaknya ada sekitar seratusan lebih warga bekas PKI itu, mulai dari generasi pertama dan kedua.
"Sebagian lagi yang tidak ikut ke masjid, ikut agama lain," katanya.
Menurutnya, pendekatan keagamaan, kemanusiaan, serta jalinan interaksi sosial yang baik menjadikan kehidupan masyarakat Jogokariyan semakin harmonis. Meskipun di balik itu terselip sejarah kelam di dalamnya.
"Anak-anak yang dulu orang tuanya ditahan terus kami sekolahkan. Di sini, kami mendirikan sekolah dasar (SD) Muhammadiyah Jogokariyan, kemudian masjid juga memberikan bantuan hidup kepada mereka di masa-masa sulit," katanya.
Editor: Kuntadi Kuntadi