get app
inews
Aa Text
Read Next : 15 Tempat Wisata di Jogja yang Murah tapi Keren Abis, Liburan Hemat Tetap Estetik!

Sejarah Pasar Kembang Jogja: dari Rel Kereta, Pedagang Bunga, hingga Stigma Prostitusi Legendaris 

Kamis, 30 Oktober 2025 - 01:02:00 WIB
Sejarah Pasar Kembang Jogja: dari Rel Kereta, Pedagang Bunga, hingga Stigma Prostitusi Legendaris 
Sejarah Pasar Kembang Jogja(Foto: Istimewa).

YOGYAKARTA, iNews.id -  Sejarah Pasar Kembang Jogja merupakan cermin panjang perjalanan Yogyakarta sebagai kota budaya yang dinamis. Kawasan yang kini dikenal dengan nama Sarkem menyimpan kisah yang berlapis: mulai dari pasar bunga yang sederhana, hingga menjadi bagian dari kehidupan malam kota yang terkenal. 
Di balik kesan “ramai dan penuh warna” itu, ada sejarah sosial dan ekonomi yang mencerminkan cara masyarakat beradaptasi dengan perubahan zaman.

Sejarah Pasar Kembang Jogja

Pada masa kolonial Hindia Belanda, kawasan yang kini disebut Pasar Kembang dikenal dengan nama Balokan. Nama ini muncul karena daerah tersebut menjadi tempat penyimpanan balok-balok kayu yang digunakan untuk bantalan rel kereta api. 

Letaknya yang berdekatan dengan Stasiun Tugu menjadikan Balokan kawasan yang ramai, terutama oleh para pekerja, pedagang, dan pelancong yang datang dari berbagai daerah.

Seiring berjalannya waktu, banyak warga mulai berdagang bunga di sekitar lokasi itu. Bunga-bunga tersebut dijual untuk kebutuhan upacara adat, penghormatan di makam, dan kegiatan keagamaan. Dari aktivitas inilah muncul nama Pasar Kembang, yang secara harfiah berarti “pasar bunga”. 

Jadi, asal mula nama Pasar Kembang tidak berkaitan dengan hiburan malam, melainkan berasal dari aktivitas jual beli bunga yang benar-benar ada pada masa itu.

Perubahan Fungsi dan Munculnya Sebutan “Sarkem”

Dalam buku Sarkem: Reproduksi Sosial Pelacuran karya Mudjijono (Gadjah Mada University Press, 2005), perubahan fungsi kawasan Pasar Kembang dimulai ketika Yogyakarta mengalami pertumbuhan penduduk dan mobilitas tinggi akibat pembangunan jalur kereta api. 

Banyak pendatang datang ke kota untuk bekerja atau berdagang, sehingga kebutuhan akan tempat hiburan dan persinggahan meningkat.

Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa kawasan Pasar Kembang mulai berkembang menjadi tempat yang menyediakan hiburan malam dan penginapan sederhana. Aktivitas ini kemudian membentuk ekosistem sosial baru yang kompleks. 

Ada pedagang, pekerja hiburan malam, sopir becak, tukang makanan, dan warga sekitar yang hidup berdampingan. Aktivitas ekonomi di kawasan ini tidak hanya terkait hiburan, tetapi juga soal mencari nafkah dan bertahan hidup.

Kehidupan Sosial di Sarkem

Penelitian “Prostitusi dan Kekuasaan di Jantung Yogyakarta” oleh Bramastya Gadiansah (UGM, 2010) menggambarkan bahwa keberadaan prostitusi di kawasan Pasar Kembang tidak terlepas dari peran warga lokal. 

Ada tokoh masyarakat, preman, hingga aparat yang membentuk jaringan kekuasaan kecil untuk menjaga stabilitas sosial dan ekonomi di sana. Jaringan inilah yang membuat kawasan ini bertahan lama, meskipun sering menjadi perdebatan moral di masyarakat.

Penelitian lain dari UIN Sunan Kalijaga berjudul “Prostitusi di Sosrowijayan” menyoroti hubungan sosial antara warga sekitar dengan para pekerja malam. Warga membuka warung, tempat kos, atau usaha kecil lain untuk melayani kebutuhan penghuni Sarkem. Hubungan mereka tidak semata-mata bersifat ekonomi, tetapi juga sosial. Banyak warga saling mengenal dan saling membantu dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi masyarakat yang telah berusia lanjut dan masih mengingat Yogyakarta pada tahun 1970–1980-an, suasana Pasar Kembang saat itu begitu hidup.

 Lampu warna-warni menerangi jalan sempit, musik mengalun dari kafe kecil, dan deretan becak menunggu penumpang hingga larut malam. Kawasan itu mungkin dianggap “gelap” oleh sebagian orang, namun bagi banyak warga, itulah tempat mereka menggantungkan hidup.


Upaya Penataan dan Revitalisasi Kawasan

Seiring perkembangan kota, pemerintah mulai menata kawasan Pasar Kembang Jogja agar tidak hanya dikenal dari sisi hiburan malam. Jalan-jalan diperbaiki, lampu jalan ditambah, dan beberapa bangunan lama diubah menjadi losmen, rumah makan, serta kafe.

Pemerintah setempat memiliki pandangan berbeda mengenai masa depan kawasan ini. Sebagian masyarakat mendukung penutupan total aktivitas malam, sementara sebagian lainnya menilai penutupan bukan solusi karena menyangkut kehidupan ekonomi banyak orang.

Kemunculan komunitas Bunga Seroja, kelompok yang membantu pemberdayaan warga dan pekerja hiburan malam di kawasan tersebut menjadi angin segar. Komunitas ini aktif memberikan pelatihan keterampilan dan pendampingan agar warga dapat memiliki pilihan ekonomi lain selain dunia malam. 

Pendekatan semacam ini dianggap lebih manusiawi karena tidak menghapus kehidupan mereka secara tiba-tiba, tetapi memberikan jalan menuju perubahan yang lebih baik.

Sarkem dalam Budaya dan Kehidupan Modern

Selain menjadi bagian dari sejarah sosial, Pasar Kembang Jogja juga sering muncul dalam berbagai karya seni, film, dan sastra. Kawasan ini digambarkan bukan sekadar tempat hiburan, tetapi juga simbol kehidupan kota yang penuh kontradiksi: antara harapan dan kenyataan, antara moral dan kebutuhan.

Kini, wajah Sarkem sudah banyak berubah. Beberapa bangunan tua masih berdiri, namun di sekitarnya muncul banyak usaha baru seperti penginapan murah, kafe, dan warung kopi yang buka hingga larut malam. Kawasan ini mulai menarik perhatian wisatawan yang ingin melihat sisi lain dari Yogyakarta — sisi yang lebih jujur dan apa adanya.

Beberapa pegiat seni juga menjadikan Pasar Kembang sebagai ruang ekspresi budaya. Mereka menggelar pertunjukan musik jalanan, pameran seni, dan kegiatan sosial di kawasan ini. Upaya-upaya tersebut perlahan mengubah citra Sarkem menjadi tempat yang lebih terbuka dan ramah, tanpa menghapus sejarah panjangnya.

Pesan dari Sejarah Pasar Kembang Jogja

Melalui perjalanan panjangnya, sejarah Pasar Kembang Jogja mengajarkan bahwa sebuah tempat bisa memiliki banyak wajah. Dari pasar bunga yang sederhana, menjadi kawasan hiburan malam yang penuh kontroversi, hingga kini berkembang menjadi ruang urban yang lebih inklusif.

Bagi warga lansia yang mengenal Yogyakarta sejak lama, perubahan ini mungkin terasa besar. Namun, kenangan tentang Pasar Kembang tetap melekat sebagai bagian dari kehidupan kota yang tak pernah berhenti bertransformasi. Setiap generasi punya cerita sendiri tentang kawasan ini ada yang mengingatnya sebagai tempat bekerja, ada yang melihatnya sebagai bagian dari sejarah yang tidak boleh dilupakan.

Pada akhirnya, sejarah Pasar Kembang Jogja bukan semata kisah tentang tempat hiburan malam, tetapi tentang manusia dan cara mereka beradaptasi terhadap kehidupan kota. Dari masa kolonial hingga era modern, Pasar Kembang selalu menjadi ruang di mana ekonomi, budaya, dan nilai sosial bertemu.

Editor: Komaruddin Bagja

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya

iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut