get app
inews
Aa Text
Read Next : Jelang 1 Suro, Sumber Air di Malang Berwarna Merah Darah dan Beraroma Wangi

Tradisi Tapa Bisu Mubeng Beteng Malam 1 Suro di Jogja, Ini Makna dan Filosofinya

Selasa, 18 Juli 2023 - 22:19:00 WIB
Tradisi Tapa Bisu Mubeng Beteng Malam 1 Suro di Jogja, Ini Makna dan Filosofinya
Tradisi Tapa Bisu Mubeng Beteng merupakan ritual menyambut Malam 1 Suro. (Foto; Antara)

YOGYAKARTA, iNews.idTradisi Tapa Bisu Mubeng Beteng Malam 1 Suro atau 1 Muharram merupakan ritual masyarakat Jawa. Ritual tersebut dilakukan setiap menyambut Tahun Baru Hijriah dan Tahun Baru Jawa. 

Ritual menyambut Malam 1 Suro atau 1 Muharram tersebut hingga kini masih dilestarikan masyarakat Jawa, khususnya di Yogyakarta dan Kota Solo. 

Tradisi Tapa Bisu Mubeng Beteng

Ritual tersebut merupakan bagian dari tirakat lampah ratri yakni munajat atau madrawa ke hadirat Allah SWT dengan berjalan mengikuti lintasan tertentu.

Herman Sinung Janutama, “Mubeng Beteng Karatan Ngayogyakarta Hadiningrat” dalam Goresan Peradaban #1 : Kumpulan Ragam Warisan Budaya Takbenda Daerah Istimewa Yogyakarta, dilansir dari laman kebudayaan.jogjakarta.go.id, Tradisi Tapa Bisu Mubeng Beteng di Yogyakarta terinspirasi oleh perjalanan suci hijrah dari Mekkah-Madinah oleh rombongan  Nabi Muhammad SAW. 

Perjalanan yang penuh keprihatinan dan penderitaan melintasi lautan pasir yang sangat panas tanpa menggunakan alas kaki. Suasana tersebut yang kemudian menjadi landasan peringatan tahun baru di Jawa dan Nusantara sebagai laku prihatin. 

Selain itu, pelaksanaan lampah ratri tersebut juga dilaksanakan dengan tapa bisu (tanpa berbicara) dan juga tanpa menggunakan alas kaki. Sedangkan mubeng banteng menciptakan suasana yang khidmat, senyap dan keramat untuk merefleksikan diri selama satu tahun sebelumnya.

Ada beberapa lintasan yang digunakan lampah ratri, antara lain  lintasan dari pojok beteng wetan Keraton sampai ke Pantai Parangkusumo Bantul. 

Kedua, lintasan mengikuti kontur kelima masjid pathok nigari Keraton Yogyakarta, ketiga, lintasan jagan njaban peninggalan Karaton Kotagedhe. Namun, yang paling populer adalah lampah ratri dengan mengelilingi beteng Keraton Yogyakarta. 

Prosesi tersebut awalnya merupakan upacara resmi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang dilaksanakan atas perintah Sri Sultan Hamengku Buwana oleh para abdi dalem. 

Seiring waktu, mubeng beteng dilaksanakan oleh masyarakat dan komunitas abdi dalem saja. Setidaknya pada 2017, prosesi upacara ini dilepas setelah memperoleh perkenan dari GKR Mangkubumi, putri Sri Sultan Hamengkubuwana X.

Sebelum pelaksanaan lampah ratri, dilaksanakan terlebih dahulu pembacaan doa Akhir Tahun, Doa Awal Tahun, dan doa bulan Suro. Dilanjutkan prosesi pemberian restu dari ulama petinggi Keraton Kanjeng Kiai Penghulu. Lalu dimulai dengan pembacaan doa yang berisi permohonan kemakmuran dan perlindungan kepada Allah SWT.

Makna dan Filosofi Tapa Bisu Mubeng Beteng

Tokoh Kejawen Gunungkidul yang aktif dalam berbagai kegiatan pelestarian alam, Sigit Nurwanto mengungkapkan, malam 1 Suro adalah malam tahun barunya masyarakat Jawa.

Pada malam itu masyarakat Jawa akan melakukan introspeksi diri, apa yang telah dilakukan pada tahun yang telah dilalui dan menyambut tahun yang baru.

Dia mengatakan, karena kesakralannya inilah banyak orang melakukan laku atau tradisi prihatin. Tradisi ini dilakukan dengan topo broto atau ngesu budi dalam rangka introspeksi. 

Menurutnya, ada tiga jenis prihatin yaitu Ngelih (lapar), Mlaku (berjalan) dan Melek (tidak tidur). Ketiga jenis prihatin ini biasanya dilakukan masyarakat Jawa ketika malam 1 Suro.

Ngelih dilakukan dengan cara berpuasa atau cegah dahar (menahan untuk makan). Biasanya masyarakat Jawa melakukan puasa selama beberapa hari yaitu sejak malam satu suro hingga beberapa hari kemudian. 

Sedangkan Mlaku atau berjalan dilakukan pada malam 1 Suro. Di Kota Yogyakarta biasanya dilakukan secara berjamaah, yaitu Mubeng Beteng (berjalan mengelilingi Keraton).

Sedangkan Melek yaitu mencegah tidur sesuai dengan kemampuannya. Terkadang laku prihatin ini dibingkai senang-senang, dengan menggelar Sholawatan Jowo, Kenduri dan juga wayangan. 

Sigit menyebut, tradisi Mubeng Beteng sejatinya bukan hajatan dari Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat, namun hajatan kawulo dalem. Artinya, hajatan dari masyarakat yang memiliki keinginan agar negara Ngayogyakarto Hadiningrat menjadi negara yang Ayem Tentrem Gemah Ripah Loh Jinawi. 

Editor: Kastolani Marzuki

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya

iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut