MALANG, iNews.id - Belanda membangun benteng dalam jumlah masif untuk mengadang gerakan Pangeran Diponegoro. Sebanyak 258 benteng diperintahkan oleh Jenderal De Kock demi mengontrol perlawanan.
Benteng-benteng itu tersebar di berbagai wilayah seperti Pajang, Mataram, Kedu, Bagelen, Ledok, hingga Monconegoro Timur. Pembangunan ini menelan biaya sangat besar.
Namun, strategi ini justru jadi blunder. Kesalahan analisis medan tempur membuat Belanda kesulitan menghadapi strategi gerilya Diponegoro.
Pangeran Diponegoro bukan sekadar pemimpin spiritual. Dia juga ahli strategi perang. Bersama Kiai Mojo, Sentot Ali Basah, hingga Raden Prawirodirjo, dia menciptakan kekuatan militer rakyat yang tangguh.
Mereka menerapkan perang atrisi dan memilih lokasi yang sulit dijangkau Belanda. Akibatnya, banyak benteng dibangun di lokasi yang tidak strategis.
Dalam banyak kasus, benteng-benteng itu bahkan ditinggalkan sebelum digunakan. Beberapa dihancurkan sendiri oleh rakyat karena mudah dibakar atau rapuh.
Dikutip dari buku Sejarah Nasional Indonesia IV, bangunan benteng ini menjadi beban finansial besar bagi Belanda. Infrastruktur jalan yang buruk dan logistik yang kacau membuat stelsel De Kock tidak berjalan efektif.
Benteng-benteng yang dibangun dengan bahan seadanya menjadi sasaran empuk serangan rakyat. Keunggulan medan dan taktik perlawanan membuat Belanda frustasi.
Sebaliknya, pasukan Diponegoro mampu menguasai logistik dan medan tempur berkat dukungan rakyat dan kondisi alam.
Pada tahun 1828-1829, Mataram menjadi pusat pertempuran sengit. Setelah keluar dari Pajang, Diponegoro mengonsentrasikan kekuatannya di wilayah tepi barat Sungai Progo dan timur Sungai Bogowonto.
De Kock sempat menilai daerah ini sebagai "killing area" bagi pasukan Diponegoro. Tapi justru wilayah ini menjadi kuburan harapan Belanda.
Wilayah itu subur, berbukit terjal, berpenduduk padat, dan penuh loyalis Diponegoro. Ini menjadi ladang ideal untuk melakukan perang gerilya dan atrisi.
Penduduk di wilayah Mataram hanya mengakui Sultan Ngabdulkamid Herucokro, yakni Pangeran Diponegoro. Mereka menolak tunduk pada pemerintahan kolonial.
Dukungan rakyat ini menjadi kekuatan utama dalam mempertahankan logistik, informasi, dan perlawanan berkelanjutan terhadap Belanda.
Mataram berubah menjadi arena pertempuran kejam dengan deprivasi, penghancuran, dan eksekusi tawanan, yang mencerminkan upaya putus asa Belanda untuk mengakhiri perang.
Meski membangun 258 benteng, strategi De Kock gagal total di tangan Pangeran Diponegoro. Wilayah Mataram menjadi saksi kehancuran taktik kolonial akibat medan, cuaca, dan kekuatan rakyat.
Perang Diponegoro bukan hanya soal senjata, tapi juga soal kecerdasan strategi dan keberpihakan rakyat pada pemimpinnya sendiri. Sejarah mencatat, benteng tak akan berguna bila melawan semangat kemerdekaan.
Editor : Donald Karouw
Artikel Terkait