YOGYAKARTA, iNews.id – Tanggal 31 Agustus 2021 tepat sembilan tahun usia Undang-Undang Keistimewaan (UUK) DIY. Dalam pelaksanaannya, UU No 13 tahun 2012 ini dinilai telah melenceng jauh dari tujuan keistimewaan DIY.
Saksi sejarah pembentukan UUK DIY, Ariyanti Luhur Tri Setyarini menyebut banyak hal yang melenceng dari pelaksanaan Undang-Undang Keistimewan ini. Sebagai saksi sejarah yang mengawal pembentukaan UUK DIY ini, Ririn, panggilan akrabnya, paham betul filosofi dibuatnya undang-undang khusus ini.
“Saya mengikuti hampir semua pembahasannya di DPR sejak masa sidang Januari 2011 hingga UUK disahkan. Sidang-sidang yang bersifat terbuka saya ikut semua. Saya juga punya risalah rapat-rapatnya termasuk rekamannya,” ujar Rini saat diundang di acara Refleksi 9 Tahun Undang-undang Nomor 13 tahun 2102 Tentang Keistimewaan DIY di Ambarketawang, Gamping, Sleman, Minggu (29/8/2021). Acara ini digagas oleh elemen Mataram Bergerak.
Menurut Ririn, banyak dana keistimewaan (danais) yang digunakan tidak sesuai dengan tujuan awal UUK DIY. Padahal sudah jelas penggunaan danais sudah dibatasi di pasal 7 ayat (2) di antaranya untuk tata cara pengisian jabatan, kelembagaan, kebudayaan dan tata ruang. Kemudian pada 34 ayat (1) juga dijelaskan bahwa yang dimaksud tata ruang hanya terbatas pada pemanfaatan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten.
Ririn mencontohkan, penggunaan danais untuk membangun jalan dan trotoar adalah salah satu tidak tepatnya penggunaan danais. “Saya prihatin dan gemes melihat kondisi ini,” ujarya.
Menurut Ririn, secara administrasi penggunaan danais untuk membangun trotoar dan jalan itu sah dan akuntabel. Secara serapan juga bagus. “Penggunaannya akuntabel dansah. Namun apakah pemanfaatannya sudah sesuai dengan tujuan keistimewaan?” ujarnya.
Di sejumlah titik di DIY, pembangunan trotoar memang menggunakan danais. Di antarannya di Jalan Maliboro, Jalan KH Ahmad Dahlan, Jalan Sudirman, kawasan Tugu, Jalan Margo Utomo.
Di sisi lain, saat danais digunakan sesuai dengan tujuan awal dibuatnya undang-undang seperti merevitalisasi Pojok Benteng dan Alun Alun Utara, Keraton justru mendapat banyak kritikan. “Padahal itu sudah sesuai dengan tujuan awal untuk menjaga warisan budaya seperti yang diamanatkan undang-undang. Tapi saat itu dilakukan kok malah di-bully,” katanya.
Ririn berharap Pemda lebih berperan untuk mendekatkan lembaga Keraton dan Kadipaten ke masyarakat, sehingga filosofi Tahta untuk Rakyat tercapai. Ada hal sederhana yang bisa dilakukan oleh pemda untuk mendekatkan dua lembaga itu ke masyarakat.
Misalnya saat pemberian bantuan gamelan seharusnya Keraton dan Kadipaten juga dilibatkan. Yang terjadi selama ini pemberian bantuan itu tak ada bedanya dengan bantuan yang bersumber dari anggaran negara yang lain, sehingga ciri keistimewaanya sama sekali tidak tampak.
“Bukankah bisa, saat pemberian bantuan itu Keraton dan Kadipaten juga diajak. Terus pemerintah bisa berkata, meniko paringan ndalem Keraton lan Kadipaten dan seterusnya. Diberi pemahaman bahw mereka juga punya kewajiban menjaga budaya. Di dalam dijaga oleh abdi dalem, maka di luar benteng masyarakat ini yang wajib menjaganya,” katanya.
ASN di Pemda DIY ini menilai, pemahaman tentang tujuan awal UUK ini harus terus disampaikan. Dia khawatir jika hal ini tidak diluruskan maka penggunaan danais makin melenceng. Rencana pemberian danais melalui bantuan keuangan khusus (BKK) ke sejumlah desa menurutnya harus disertai dengan pemahaman yang matang tengan keistimewan bagi perangkat desa. Jika desa tak pernah diberi pemahaman maka sangat mungkin pelaksanaannya akan melenceng jauh dari tujuan keistimewan sesuai dari amanat UUK.
Acara diskusi itu dipandu oleh Ketua Mataram Bergerak, Santosabedjes. Dalam kesempatan itu Santosabedjes menyebut diskusi ini digelar lantaran minimnya informasi masyarakat terkait UUK.
“Kami mengundang Bu Ririn sebagai saksi sejarah. Selama ini masyarakat taunya keistimewaan itu ya hanya soal penetapan. Soal danais ra dong wong tidak kebagian,” ujarnya.
Editor : Ainun Najib
Artikel Terkait