Selain itu, juga alasan ekonomi. Sumber kehidupan mereka berada di tempat tersebut dan untuk menyiasatinya munculah kearifan lokal. Berada di wilayah KRB III mereka siap siaga dan akan mengembalikannya berdasarkan, mitologi, historis dan tanda-tanda fisik lainnya. Selama tidak ada pengaruh langsung mereka tetap masa bodoh.
“Secara mitologi berdasarkan leluhur, ada tanda-tanda jika akan terjadi sesuatu, seperti ada wan cincin di atas Merapi, atau ada suara kendaraan, derap kuda dan gamelan di alur sungai Merapi,” ujarnya.
Secara historis, mereka sudah menjalankan secara tradisi, sehingga tidak ada permasalahan. Jika ada tanda-tanda fisik, warga akan tetap patuh. Misal saat ada luncuran awan panas ke arah barat daya dan tenggara yang mencapai 5 km, mereka akan menuju ke barak pengungsian. Namun setelah reda akan kembali ke rumahnya dan kembali menjalankan kehidupannya.
Menurut Tomon, saat ini yang penting bagi masyarakat, yaitu adanya informasi yang bersifat edukasi dan teknologi atau alat yang bisa mendeteksi adanya bahaya erupsi Merapi. Informasi yang ada justru setelah ada erupis, setelah warga mengetahui kejadian.
“Informasinya bukan untuk warga sebagai obyek namun untuk publikasi dan mengambil kebijakan untuk penanganannya,” ujarnya.
Editor : Kuntadi Kuntadi
Artikel Terkait