Saat itu, Sunan Kalijaga ingat bahwa dirinya harus pergi ke Makkah untuk menjalankan tugas. Kepada Jebeng Cokro Joyo, Sunan Kalijaga berkata, “Jebeng Cokro Joyo muridku, tunggulah aku di sini. Kamu tidak boleh pergi dari tempat ini sampai aku kembali. Ini ujian bagimu sebagai muridku.”
Jebeng Cokro Joyo diperintahkan untuk menunggu di sebuah pegunungan. Sunan Kalijaga menancapkan tongkat miliknya di depan Jebeng Cokrojoyo dan diminta untuk menjaga tongkat tersebut. Tongkat itu nanti akan diberikan dengan syarat Jebeng Cokro Joyo harus berada di tempat itu sampai Sunan Kalijaga kembali dari Makkah. Jebeng Cokro Joyo juga tidak boleh berpindah dari tempat itu.
Setelah waktu berjalan tak terasa hingga bertahun-tahun lamanya, dikisahkan Jebeng Cokro Joyo tetap tidak pergi karena taat dengan perintah gurunya. Karena sudah terlalu lamanya dia duduk bersila, di sekitarnya banyak tumbuhan bambu muncul. Bahkan, badan Jebeng Cokro Joyo juga dipenuhi tumbuh-tumbuhan rambat.
Bersamaan dengan itu, di Makkah, Sunan Kalijaga ingat bahwa Cokro Joyo masih berada di tempat itu. Spontan, Sunan Kalijaga kembali ke tempat Jebeng Cokro Joyo. Setelah sampai di sana, yang ada hanya pohon-pohon bambu yang rimbun. Tapi Sunan Kalijaga yakin bahwa Jebeng Cokro Joyo berada di tengah bambu itu.
Karena terlalu rimbun, maka Sunan Kalijaga membakar rerimbunan pohon bambu tersebut. Setelah dibakar, ternyata memang benar Cokro Joyo berada di tempat itu. Seluruh badan Jebeng Cokrojoyo hitam gosong.
“Dalam cerita rakyat, daerah yang dibakar ini kemudian dikenal dengan Kampung Maladan, Jatimulyo, Dlingo, dan Bantul. Maladan berasal dari kata api yang molad-molad atau api yang berkobar-kobar,” kata Tamar.
Begitu mengetahui muridnya gosong terbakar, Sunan Kalijaga memutuskan untuk membawa Jebeng Cokro Joyo ke sebelah barat Sungai Oyo. Ternyata sungai itu kering. Sunan Kalijaga kemudian menancapkan tongkatnya dan muncullah sumber mata air yang jernih dan berlimpah. Jebeng Cokro Joyo kemudian dimandikan. Ajaib, usai dimandikan, Jebeng Cokro Joyo yang saat itu diketahui mati dalam kondisi gosong, seketika hidup kembali.
“Mata air tempat ditancapkan tongkat ini kemudian dikenal masyarakat sebagai Blumbang Banyuurip atau Banyu Penguripan, bentuknya sekarang sebuah sumur. Sementara tempat membuang kotoran Jebeng Cokrojoyo dikenal dengan Sendang Pocot,” kata Tamar.
Editor : Ainun Najib
Artikel Terkait