BANTUL, iNews.id-Tumpukan butiran kelapa nampak memenuhi halaman rumah Sulastri (65) yang berada di Padukuhan Mangiran Kelurahan Trimurti Kapanewon Srandakan Kabupaten Bantul. Di halaman samping kanan rumah tersebut, terlihat ada seorang bapak yang sibuk mengeluarkan daging buah kelapa dari tempurungnya.
Di depan bapak tersebut menggunung tempurung kelapa yang sudah pecah diambil daging kelapanya. Ketika masuk ke dalam dapur terlihat dua bejana besar berisi air berada di atas tungku besar berbahan bakar kayu masih menyala membara.
Di dapur tersebut juga terlihat ada seorang lelaki berumur 50-an tahun memarut kelapa dengan menggunakan mesin yang telah didesain secara mekanis. Kemudian tampak pula mesin untuk memeras parutan kelapa menjadi santan.
Dua bejana besar lain berada di sisi tungku. Dua bejana ini berisi santan yang digunakan untuk menyuling santan kelapa guna memisahkan minyak dengan air santannya. Di sisi lain ada mesin pengepres 'blondo' residu santan yang sudah dimasak.
Sulastri sejak awal tahun 80-an sudah menekuni pembuatan minyak kelapa dan juga kethak, makanan tradisional yang berbahan dasar dari residu minyak kelapa. Dari usaha inilah, ia telah berhasil menghantarkan 4 orang anaknya menjadi sarjana. "Empat anak saya sarjana semua. Alhamdulilah semua biaya dari usaha ini,"tutur nenek empat cucu ini.
Tiga orang anaknya berada di Kalimantan, di mana dua menjadi perawat dan seorang lagi menjadi guru. Sementara seorang anaknya masih tinggal bersamanya, dan kini menjadi Dukuh Mangiran. Rencananya, anaknya itulah yang akan meneruskan usahanya membuat minyak klentik (minyak kelapa) dan juga Kethak.
Setiap hari Sulastri memecah 500 hingga 530 butir kelapa kemudian diparut dan dijadikan santan. Santan lantas dimasukkan ke dalam sebuah bejana dan dimasuki air mendidih. Sehingga terpisah antara minyak dengan air.
"Nah minyak ini kita rebus atau panasi sekitar 2-3 jam di atas tungku. Hingga berubah menjadi Blondo (residu)," ujarnya.
Blondo tersebut lantas dimasukkan ke mesin press untuk mengeluarkan minyak dari residu yang dihasilkan. Residu yang telah padat inilah yang mereka namakan sebagai Kethak. Kethak tersebut kemudian ia campur dengan gula Jawa sehingga rasanya menjadi manis.
Sementara minyak klentik yang ia hasilnya kemudian dikemas ke dalam botol ukuran 1 literan. Minyak yang ia hasilkan cukup jernih karena memang sudah melalui proses penyulingan. Sehingga sejak ia lakukan penyulingan, peminat minyak klentik ini meningkat drastis.
"Alhamdulillah selalu habis. Baik kethak ataupun minyaknya," kata dia.
Rata-rata Setiap hari dia memang memproduksi minyak klentik dan juga ketak dengan menghabiskan 500 hingga 530 butir kelapa.
Dari 500 butir kelapa tersebut ia mampu menghasilkan 27 kg kethak dan 45 kg minyak klentik. Di samping itu, juga ampas (sisa parutan kelapa yang sudah diambil santannya).
Untuk minyak kelapa ia jual seharga Rp14.000 hingga Rp20.000 perkilogramnya bergantung siapa yang beli, grosir atau eceran. Sementara Kethak ia jual Rp40.000 perkilogramnya. Untuk memproduksi, ia mempekerjakan tiga orang tenaga kerja.
"Kalau minyaknya sudah sampai Jakarta. Nah kalau kethaknya sampai Malaysia. Biasanya untuk oleh-oleh," kata dia.
Dia memang sudah puluhan tahun menekuni usaha ini namun dia hanya meneruskan usaha yang telah dirintis oleh nenek moyangnya. Usaha tersebut awalnya dirintis karena di wilayah Srandakan banyak dijumpai pohon kelapa.
"Sekarang tinggal sedikit pohon kelapanya. Saya harus beli dari Kalimantan, Sumatera ataupun Sulawesi. Sekarang harga perbutir Rp1.200," ujarnya.
Editor : Ainun Najib
Artikel Terkait