Guna melindungi sekaligus memberi penghidupan masyarakat sekitar tanpa merusak lingkungan, maka konsep ekowisata dipilihnya. Goa Jomblang dikemas menjadi ekowisata bukan wisata massal atau mass tourism yang berwawasan lingkungan.
"Kami mengemas wisata dengan mengutamakan aspek konservasi alam, aspek pemberdayaan sosial budaya ekonomi masyarakat lokal serta aspek pembelajaran dan pendidikan," katanya.
Untuk mewujudkan konsepnya ini, tantangan awal yang harus dihadapinya dulu adalah menghutankan kembali kawasan tersebut. Baru kemudian membuat fasilitas pendukung agar wisatawan nyaman dan menikmati wisata ini.
Menurutnya, dia harus membuat agar wisatawan dapat menuruni tebing dan menyusuri gua dengan mudah agar semua orang bisa menikmati dari anak-anak hingga yang berusia lanjut. Wisata yang nyaman dengan pendekatan adventure-nya harus ada satu paket yang tentunya tidak mudah dikemas.
Saat itu, dia tertantang untuk merintis Goa Jomblang tersebut. Dia tertarik mengelola Jomblang sebagai ekowisata karena keprihatinannya terhadap kerusakan lingkungan di Gunungkidul. Kawasan karst ini sejak dahulu sudah di tambang hingga di sekitar gua-gua sehingga sangat rawan, bahkan ditakutkan rusak dan runtuh gua-gua yang memiliki potensi wisata.
Pengelola sekaligus instruktur Gua Jomblang, Kurniawan Adhi Wibowo menambahkan mayoritas wisatawan yang datang bertujuan penelitian baik dari dalam maupun luar negeri yang ingi mendalami karakteristik guanya itu sendiri hingga kehidupan hayati dan hewani di dalamnya yang cukup beragam. Sebelum melihat lebih dekat ke gua, penjelajah biasanya istirahat dulu di Jomblang Resort yang awalnya dibangun untuk para peneliti. Tapi sekarang, resort itu bisa juga digunakan para wisatawan.
"Masyarakat setempat, Gua Jomblang disebut juga Luweng Jomblang. Gua vertikal bertipe collapse doline ini terbentuk akibat proses geologi amblesnya tanah beserta vegetasi di atasnya ke dasar bumi yang terjadi ribuan tahun lalu," ujar pemuda yang akrab disapa Pithik ini.
Editor : Ainun Najib
Artikel Terkait