YOGYAKARTA, iNews.id- Pegiat Literasi di Yogyakarta Arda Kesumawati menyebut mahasiswa magang rentan terhadap eksploitasi ketenagakerjaan. Pemilik usaha menjadi mudah memanfaatkan mahasiswa magang karena lemahnya aturan perundang-undangan.
Dia menyebut 7,99 persen dari total pengangguran di Indonesia merupakan hasil kontribusi dari situasi di perguruan tinggi. Bukan hanya fenomena sarjana kesulitan mencari pekerjaan, namun kondisi sempitnya lapangan pekerjaan bagi usia produktif telah lebih banyak terisi oleh para pemagang.
"Hukum ketenagakerjaan tidak sanggup menaungi pemagangan pelajar dan mahasiswa. Sementara itu, magang bukanlah hal yang berdiri sendiri, melainkan atas proses politik dalam negeri hingga global," katanya di Yogyakarta, Sabtu (10/6/2023).
Dikatakannya, UU Cipta Kerja sebagai salah satu contoh bagaimana politik global dihadirkan ke dalam ketenagakerjaan Indonesia. Investor luar negeri difasilitasi oleh negara atas tujuan perluasan lapangan pekerjaan menjadi ruang magang pelajar dan mahasiswa.
Dia mengatakan, magang dikenal dan diatur dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dinyatakan bahwa magang merupakan bagian dari sistem pelatihan kerja, di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruksi atau pekerja yang lebih berpengalaman, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu.
Kemudian, pelaksanaannya diatur melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2020, yang mana pemagang mendapatkan hak berupa bimbingan dan instruksi, memperoleh uang saku yang layak, dan diikutsertakan dalam jaminan sosial.
Namun, katanya, bukan berarti magang tanpa praktik ketidakadilan. Dia mengatakan bahwa belakangan ini banyak kasus eksploitasi internsip yang dialami oleh para pelajar dan mahasiswa.
Salah satu penyebabnya, ketentuan-ketentuan pemagangan dalam UU No 13 Tahun 2003 dan Permenaker No 6 Tahun 2020 hanya bisa diterapkan pada pemagangan yang bersifat apprenticeship, bukan internship.
"Apprenticeship umumnya berbentuk on the job training, atau pencari kerja yang sedang dalam proses pelatihan kerja, atau mereka yang telah lulus sekolah dan lulus kuliah. Sedangkan, internship dilakukan oleh para pelajar dan mahasiswa yang dalam hal ini untuk mencari pengalaman," katanya.
Menurutnya, ketiadaan payung hukum menyebabkan pemagang pelajar dan mahasiswa rawan untuk dieksploitasi. Mereka mendapatkan beban kerja tinggi dengan jam kerja laiaknya pekerja penuh waktu, bahkan ada target yang harus dipenuhi, namun tanpa kompensasi upah dan jaminan sosial.
Selain itu, terdapat pula beberapa perusahaan dan lembaga memberikan aturan tarif yang harus dibayarkan oleh pemagang pelajar dan mahasiswa. "Bukan perusahaan yang butuh kamu, tapi kamu butuh perusahaan," ujarnya.
Ardha menilai kondisi karut-marut distribusi hak dan kewajiban ketenagakerjaan dalam pemagangan nyatanya tak menyurutkan institusi pendidikan dalam mengirim pelajar dan mahasiswanya sebagai pekerja magang. Magang bahkan bukan lagi dimaknai sebagai proses belajar, namun suatu tuntutan dalam rupa syarat kelulusan.
Sementara itu, katanya, kini magang telah menjadi suatu norma yang harus dipatuhi oleh pelajar dan mahasiswa. Kurikulum pembelajaran justru menjebak peserta didik sebagai korban ketidakadilan sistem korporasi, alih-alih kebebasan dalam membentuk paradigma berpikirnya.
Dia menyebut lemahnya aturan hukum ini membuat korporasi dan lembaga pemberi kerja menyalahgunakan sistem pendidikan untuk menekan biaya gaji karyawan. Merekrut pemagang sama artinya menyelesaikan banyak pekerjaan, meraup lebih banyak target, namun tanpa kenaikan pembiayaan operasional.
"Mempekerjakan pemagang pelajar dan mahasiswa jauh lebih menguntungkan daripada menanggung kontrak kerja karyawan profesional. Hasilnya, cadangan tenaga kerja atau orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan akan semakin meningkat disebabkan pemagang yang mengambil alih kesempatan kerja usia produktif," tuturnya.
Oleh karena itu, Ardha mengatakan bahwa pemerintah harus hadir untuk memperbaiki celah dan kekosongan hukum ketenagakerjaan terhadap pemagangan pelajar dan mahasiswa. Dia meminta pemerintah agar merevisi Permenaker No 6 Tahun 2020 untuk tidak hanya melingkupi apprenticeship, namun juga internship. Juga perlunya mendorong adanya aturan yang mengatur hak bagi pekerja intern, seperti uang saku, jaminan kecelakaan kerja, dan lainnya.
"Indonesia dapat belajar dari aturan magang di Inggris yang memiliki ketentuan bahwa para mahasiswa pemagang, selama mereka bekerja akan tetap dianggap sebagai pekerja, dan harus mendapatkan upah minimum kota," katanya.
Selain itu, katanya, pemerintah harus mengupayakan perbaikan regulasi, peserta magang harus paham terhadap hak-haknya sebelum berkomitmen dalam suatu program magang. Pelajar dan mahasiswa harus mampu selektif dalam memilih tempat magang.
"Misalnya, tidak perlu menyepakati progam magang jika perusahaan atau lembaga memberikan beban kerja yang berlebihan tanpa kompensasi, memberlakukan penalty, serta tidak terbuka mengenai syarat dan ketentuan magang," ujarnya.
Editor : Ainun Najib
Artikel Terkait