YOGYAKARTA, iNews.id - Profesor Adi Utarini menjadi peneliti Indonesia yang masuk dalam daftar 100 orang paling berpengaruh di dunia 2021 versi majalah Time. Peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) ini meneliti bakteri Wolbachia yang mampu menghambat penyebaran kasus demam berdarah.
Profesor Adi Utarini merupakan dosen Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) UGM. Perempuan kelahiran Yogyakarta 4 Juni 1965 ini juga menulis buku berjudul Tak Kenal Maka Tak Sayang, Penelitian Kualitatif Dalam Pelayanan Kesehatan. Pada tahun 2020 juga masuk daftar 10 ilmuwan berpengaruh di dunia menurut jurnal ilmiah Nature. Ia masuk dalam kategori pionir, bersama Billie Eilish dan Suniaa Lee.
Perempuan yang akrab disapa Prof Uut ini pernah menempuh pendidikan di Universitas Umea, Swedia. Profesor Adi Utarini berhasil memberikan terobosan hebat dalam dunia sains dan kesehatan lewat penelitiannya bersama World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta. Lewat penelitiannya, Wolbachia secara efektif menurunkan 77 persen kasus dengue dan menurunkan 86 persen tingkat rawat inap karena dengue.
Dia mengatakan keberhasilan penelitian ini tidak terlepas dari kerja sama tim WMP Yogyakarta dan kolaborasi bersama yang dilakukan. Ia sangat bersyukur dan mengapresiasi seluruh pihak yang membantu.
"Keseluruhan proses penelitian yang dilakukan WMP Yogyakarta merupakan kerja kolaborasi antara WMP Global, Monash University, UGM, dan dengan dukungan dari yayasan Tahija. Tentu saya mengapresiasi seluruh peneliti dan staf WMP Yogyakarta, dan tentu saja terimakasih yang besar kepada masyarakat dan pemangku kepentingan di Daerah Istimewa Yogyakarta," ujar Adi, Selasa (04/10/2022).
Dijelaskan Prof Uut, yang melatarbelakangi penelitian Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah tingginya kasus DBD di Indonesia sejak tahun 1968 sampai tahun 2009. World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD paling tinggi di Asia Tenggara. Kasus DBD masih menjadi masalah utama kesehatan di Indonesia.
"Teknologi Wolbachia hadir sebagai pelengkap dalam pengendalian dengue. Wolbachia merupakan bakteri yang terdapat pada lebih dari 60 persen serangga di sekitar kita. Kemudian diinokulasikan ke telur nyamuk ber-wolbachia. Wolbachia di dalam tubuh nyamuk berkerja menghambat replikasi virus dengue," ujar perempuan yang hobi berolahraga ini.
Lebih lanjut, ia menyebut nyamuk ber-Wolbachia sudah dikembangkan di Yogyakarta sejak tahun 2011 dengan mengawinsilangkan (backrossing) dengan nyamuk lokal di Indonesia. Pada tahun 2017 hingga 2020 ia bersama tim WMP melakukan penelitian Aplikasi Wolbachia dalam Eliminasi Dengue (AWED) yang hasilnya sudah dipublikasikan di jurnal ilmiah the New England Jurnal of Medicine (NEJM).
Pascaberakhirnya penelitian pada tahun 2020, teknologi Wolbachia telah menjadi program pelengkap pemerintah daerah dalam mengendalikan DBD. Pihaknya bekerja sama dengan pemerintah daerah Sleman dengan program Si Wolly Nyaman (Si Wolbachia Nyamuk Aman Cegah DBD di Sleman) dan bersama pemerintah daerah Bantul dalam program WoW Mantul (Wolbachia Wis Masuk Bantul) sejak Oktober 2021 hingga sekarang.
Dengan penelitian tersebut, ia memiliki harapan besar inovasi yang sudah dihasilkan bisa membantu pemerintah dalam mengatasi persoalan kesehatan dengan mengurangi angka penyebaram DBD di Yogyakarta dan Indonesia.
"Harapannya inovasi teknologi Wolbachia ini bisa menguatkan dan melengkapi program pengendalian DBD di Indonesia yang sudah ada. Seperti PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) supaya masyarakat bisa lebih sehat dan terhindar dari penyakit DBD," ujar penyuka musik Piano ini.
Editor : Kuntadi Kuntadi
Artikel Terkait