YOGYAKARTA, iNews.id-Sejarah Istana Yogyakarta atau Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat menarik untuk dicermati. Bangunan istana bagi Raja Yogyakarta itu sampai saat ini masih lestari.
Bangunan istana atau Keraton Ngayogyakarto saat ini tidak banyak berubah meskipun di sekelilingnya sudah banyak perubahan akibat pergeseran zaman.
Cucu Sri Sultan HB VIII, Gustri Kukuh Hestrianing atau Gusti Aning menuturkan pengaruh Raja Amangkurat saat berkuasa masih dirasakan ketika kerajaan Mataram berkuasa bahkan hingga Pakubuwono 2. Sehingga pola-pola religius saat itu masih dilestarikan mirip dengan zaman Mataram yaitu Islam.
"Saat perjanjian Giyanti ada pemisahan negara di mana Hamengku Buwono I mencoba untuk mempertahankan songgo Buwono Sangkan Paraning Dumadi," ujarnya.
Saat diangkat menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) I masih bergelar Panembahan Senopati Ing Aloga Sayidin Panatagama. Sultan HB I kemudian meminjam tempat di Garjikowati di Godean yang sekarang Ambarketawang.
Garjikowati sebenarnya dulu adalah tempat transit jenazah dari Kasunanan Pakubuwanan sebelum dikubur di Imogiri. Jenazah pasti akan Disemayamkan di Godean yaitu di Garjikowati sebelum dibawa ke makam Raja-Raja Imogiri.
Saat itu Sri Sultan HB I meminjam tempat di Garjikowati. Kemudian ada kontempelasi ingin memiliki hal yang sama punya satu garis kehidupan Sangkan Paraning Dumadi.
Beliau kemudian dengan pasrah dan berdoa lahir batin untuk bisa menemukan arah yang sama. Akhirnya ketemulah arah sumbu utara selatan pantai selatan menuju Gunung Merapi satu garis. "Nah beliau sudah bisa menemukan garis itu. Nah tinggal titiknya," tutur dia.
Kemudian ketemulah titiknya yaitu sebuah desa beringin atau dusun kecil yang memiliki sumber mata air, yaitu Umbul Pacetokan. Di tempat inilah, Sultan HB I merasa satu garis yang lurus dengan utara selatan.
Editor : Ainun Najib
Artikel Terkait