Seorang pengendara melintas di jalan komplek rumah warga terdampak relokasi Bandara NYIA, Kulonprogo. (Foto: iNews.id/Kuntadi)

KULONPROGO, iNews.id - Warga terdampak pembangunan Bandara Baru Yogyakarta (New Yogyakarta International Airport/NYIA) yang menghuni rumah relokasi di Desa Kedundang, Kecamatan Temon, Kulonprogo menolak pindah domisi.

Mereka takut perubahan kependudukan akan berdampak terhadap kehidupan dan nasib mereka. Saat ini, bantuan beras miskin (raskin) maupun bantuan pendidikan melalui Kartu Indonesia Sejahtera (KIS) sudah tidak mereka dapatkan. “Bukannya kita menolak pindah penduduk, kita butuh jaminan pemberdayaan,” kata seorang warga, Supangat, Jumat (21/9/2018).

Dia menyebutkan, warga yang tinggal di hunian relokasi Kedundang ini ada sekitar 43 kepala keluarga (KK). Mereka berasal dari Desa Glagah dan Desa Palihan yang masuk dalam kriteria miskin. Kompensasi yang mereka terima sangat terbatas dan tidak bisa dipakai untuk membangun rumah baru. Warga sudah tinggal di tempat ini sejak awal Mei silam, setelah pada 7 Mei, dilakukan serah terima rumah dari bupati.

Rumah relokasi ini berdiri di atas tanah Pakualaman dengan konsep Magersari. Warga diberikan hak guna dan akan diberikan surat kekancingan. Sedangkan pembangunan rumah ini dibiayai oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Rumah tersebut terdiri atas dua kamar, dan saat diserahkan sudah dalam kondisi terisi berupa dua set meja kursi, lemari dan dua tempat tidur berikut kasurnya. “Kita minta waktu, kita takut janji dari Angkasa Pura tidak terwujud,” ucap Supangat.

Sesuai janji awal, lanjut dia, warga terdampak akan ditampung dalam lapangan pekerjaan di proyek bandara. Sebab mereka adalah buruh tani yang sudah tidak lagi memiliki lahan garapan. Sehingga ketika kependudukan mereka pindah, tidak ada lagi jaminan untuk pemberdayaan.

“Janjinya kita akan diberikan pekerjaan. Mana buktinya tidak ada. Kalau KTP sudah pindah kita tidak ada yang memperhatikan karena sudah bukan warga terdampak,” ujarnya.

Supangat menuturkan, selama tinggal di relokasi warga tidak memiliki pekerjaan tetap. Dia hanya berjualan burung kicauan, sedangkan istrinya membuka warung. Beberapa warga juga bernasib sama dan tidak ada yang banyak bekerja. “Warga yang mendapatkan pelatihan hanya sebagian kecil yang bekerja. Kalau janji pemberdayaan dipenuhi kami siap pindah,” katanya.

Hal senada diungkapkan warga lainnya, Reni. Dia mengaku tidak ada kejelasan nasib terhadap warga di hunian relokasi ini. Bahkan bantuan beras untuk keluarga miskin (raskin) yang diterima setiap bulan tidak jelas.

Sejak dipindah, warga tidak lagi menerima bantuan tersebut. Begitu juga bantuan pendidikan bagi anak-anak juga sudah terhenti. Pihak desa juga tidak ada yang datang menanyakan kondisi dan kabar warga. “Kita belum pindah KTP saja sudah tidak dapat. Bagaimana kalau KTP kita sudah diluar Glagah,” ujarnya.

Kepala Desa Glagah Agus Parmono mengaku tidak tahu adanya warga yang menolak pindah penduduk karena alasan pemberdayaan masyarakat yang belum jelas. Selama tinggal di relokasi, tidak ada warga yang melaporkan ke desa. “Saya malah tidak tahu,” ujarnya.


Editor : Kastolani Marzuki

BERITA POPULER
+
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network