Begini Kisah Budaya Keraton Yogyakarta, Ternyata Banyak Kesamaan dengan Solo

YOGYAKARTA, iNews.id- Kisah Budaya Keraton Yogyakarta menarik untuk dicermati. Budaya Keraton Yogyakarta yang sampai saat ini masih lestari ternyata memiliki banyak kesamaan dengan Keraton Solo. Ini memang karena keduanya berangkat dari sejarah yang sama.
Cucu Sri Sultan HB VIII, Gusti Kukuh Hestrianing atau sering disebut Gusti Aning mengatakan, sejarah Budaya Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat (Keraton Yogyakarta) memang tidak lepas dari zaman Amangkurat yaitu ketika tanah Jawi masih berdiri Kerajaan Mataram Islam.
Di mana kala itu terjadi perpindahan kerajaan dari Kotagede sampai zaman Paku Buwono (PB) II di mana masih didasari Mataram dengan pola religius. Hanya saja di Yogyakarta dan Solo ada kesamaan konsep Buwono sebagai bentuk pengejawantahan manunggaling kawulo lan gusti. "Bersatunya raja dengan rakyatnya," ujar Gusti Aning di tempat tinggalnya nDalem Benawan, Kamis (25/8/2022).
berdirinya kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat tidak lepas dari adanya perjanjian Giyanti pada abad ke 17 tepatnya pada tanggal 13 Februari 1755. Perjanjian Giyanti ditandatangani Kemis Kliwon tanggal 12 Rabingulakir 1680 TJ.
Perjanjian ini menyatakan Kerajaan Mataram dibagi dua yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat. Kasunanan Solo lantas dipimpin oleh Susuhunan Paku Buwono III dan Ngayogyakarto dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I.
"Sehingga wilayah Surakarta dan Ngayogyakarto sebenarnya awalnya masuk dalam satu kerajaan, Mataram, sebuah kerajaan Islam yang ada pada akhir abad 16," ujarnya.
Dua hari setelah perjanjian Giyanti atau tanggal 15 Februari 1755, terjadilah pertemuan antara Sultan Yogyakarta dengan Sunan Surakata di Lebak Jatisari. Pertemuan tersebut membahas peletakan dasar kebudayaan bagi masing-masing kerajaan.
Dalam peristiwa yang terkenal dengan perjanjian Giyanti tersebut membahas tata cara berpakaian, ada istiadat, bahasa, gamelan dan berbagai hal lainnya. Dalam perjanjian tersebut, Sri Sultan HB I memilih tetap melanjutkan tradisi lama budaya mataram.
"Sementara Sunan Pakubuwono III sepakat melakukan modifikasi atau menciptakan bentuk budaya baru," ujar dia.
Editor: Ainun Najib