Cerita Guru SD Layanan, Harus Kerjakan Sendiri Perbaikan Atap yang Rusak
GUNUNGKIDUL, iNews.id- Gunungkidul dikenal memiliki wilayah yang paling luas di DIY. Kontur pegunungan masih mendominasi wilayah ini, masih banyak area terpencil yang sulit untuk dijangkau. Biasanya, fasilitas di area-area terpencil ini juga masih minim.
Pemerintah sendiri tetap berusaha membangun sekolah di area terpencil agar warga usia sekolah tetap bisa belajar.
Sejak tahun 1980-an, pemerintah telah membangun sekolah dasar (SD) Layanan. Yaitu SD yang didirikan untuk melayani warga yang berada di daerah terpencil. Meskipun hanya melayani satu dusun, SD layanan tetap dipertahankan.
Bahkan, meskipun jumlahnya siswanya sangat minim namun pemerintah tidak melakukan regrouping ataupun menutupnya. Pasalnya, ketika di regrouping maka siswa akan kesulitan untuk belajar.
Namun, berbagai kendala sering dihadapi oleh SD Layanan tersebut. Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang mereka terima cukup sedikit karena jumlah siswa yang sangat minim. Kondisi ini seringkali memaksa guru untuk tombok atau swadaya jika ada sebuah program.
Seperti yang terjadi di SD N Karangwetan Wonotoro Karangmojo. Saat ini kondisi atap SD tersebut rapuh karena kayunya banyak dimakan rayap. Tak hanya salah satu ruangan, namun melanda hampir semua ruangan.
Guru-gurupun terpaksa bekerja bhakti memperbaiki atap yang rusak. Mereka bergotong royong secara mandiri untuk memperbaiki atap yang rusak. Pasalnya, tahun ini mereka tidak mendapatkan renovasi gedung dari Dana Alokasi Khusus (DAK).
"Kayaknya baru diusulkan tahun 2023 nanti. Itupun karena kami laporan,"ujar Kepala Sekolah SD N Karangwetan Sigit Waluyo, Rabu (23/3/2022).
Namun kerusakannya semakin parah, jika tidak segera diperbaiki maka dikhawatirkan akan membahayakan para siswa. Tak hanya kayu atap, plafon plafon di hampir setiap ruangan sudah mulai jebol karena kayunya dimakan rayap.
Para guru pun berinisiatif mencoba sekali plafon yang sudah rusak tersebut karena dikhawatirkan akan jatuh menimpa para siswa ketika sedang belajar. Merekapun mengganti kayu atap yang rapuh dengan kayu baru secara bergotong royong setiap pulang sekolah. "Kalau dananya kita ambilkan dari dana BOS, tetapi jumlahnya kecil," ujarnya.
Menurut Sigit, sekolah ini hanya memiliki siswa sebanyak 36 orang dari dua RT di Padukuhan Karangwetan dan 1 RT dari warga Padukuhan Bangkan Kelurahan Jatiayu. Setiap siswa mendapat alokasi BOS sebesar Rp900.000 pertahun sehingga setahun SD ini hanya mendapat BOS kurang dari Rp36 juta.
Dana BOS sendiri tidak boleh digunakan untuk rehab berat gedung sekolah karena hanya boleh digunakan untuk kegiatan pembelajaran ataupun ekstra kurikuler. Sehingga pihaknya berusaha meminimalisir pengeluaran termasuk untuk rehab gedung yang sudah rusak ini.
"Ya untuk memperbaiki atap kita kerjakan sendiri, para guru kerjabhakti setiap pulang sekolah. Kita tidak mengundang tukang bangunan biar irit," kata dia.
Para gurupun patungan untuk membeli kayu usuk tersebut. Mereka juga harus rela naik ke atap memperbaikinya. Tujuannya agar atap yang rapuh tersebut tidak membahayakan para siswa ketika belajar. Mereka bergotong royong usai siswa selesai belajar di sekolah.
SD Karangwetan memang cukup terpencil di antara Gunung Batur Agung dan Watugentong. Untuk menuju ke SD tersebut harus menyusuri jalan Corblok sejauh 3 kilometer dari jalan aspal dengan kontur membahayakan.
SD Karangwetan berdiri tahun 1980 dan dijadikan sebagai SD Layanan. Sejak berdiri jumlah siswanya tidak pernah mencapai di atas 60 orang. Kini ada 36 siswa yang belajar di sekolah tersebut di mana 9 orang di antaranya adalah anak berkebutuhan khusus.
"Di sini sekolah inklusi. Ada 3 siswa yang lambat belajar, seorang downsindrom atau tuna grahita sedang dan 4 Tunagrahita ringan," ungkap dia.
Meskipun serba terbatas namun 7 guru dan penjaga sekolah tidak patah semangat mengajar. Mereka mencintai SD tersebut sehingga rela berjuang agar para siswa tetap belajar dengan nyaman.
Editor: Ainun Najib