Insentif Pendidik PAUD Minim, Anggota DPD Cholid Mahmud Minta Pemerintah Perhatian

YOGYAKARTA, iNews.id – Keberadaan lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) di tingkat padukuhan belum banyak mendapat perhatian dari pemerintah. Honor yang diterima tenaga pendidik masih sangat minim bila dibandingkan dengan pengajar jenjang Taman Kanak-kanak (TK).
“Nasib kesejahteraan pendidik PAUD non formal kurang diperhatikan. Perlu penambahan insentif, karena mereka sama-sama mencerdaskan anak Indonesia,” kata Anggota DPD asal DIY Cholid Mahmud, saat memaparkan hasil reses yang digelar selama 20 hari mulai 20-18 Oktober di Yogyakarta, Senin (1/11/2021).
Dulu, PAUD non formal ini didirikan atas dorongan dari tingkat kabupaten. Awalnya mereka mendapat stimulan untuk mendirikan lembaga ini. Belakangan keberlangsungan Paud tergantung dari kemampuan di tingkat padukuhan. Sebagian diberikan oleh masyarakat namun ada juga dari dana desa.
“Pemerintah harusnya meningkatkan kesejahteraan pendidik karena insentifnya sangat kecil,” kata Cholid yang duduk di Komite III DPD ini.
Selain masalah pendidikan, dalam reses juga banyak mendapatkan masukan dari para pekerja terkait UU no 21/2000 yang memberikan keleluasaan kepada pekerja dalam mendirikan serikat pekerja, minimal 10 orang. Namun kondisi ini justru menjadikan perusahaan tidak kondusif karena sangat mungkin terbentuk beberapa serikat pekerja.
“Keberadaan outsourcing akan lebih baik masuk serikat, karena nasib mereka juga bukan karyawan di perusahaan tempat bekerja,” katanya.
Cholid juga banyak mendapatkan masukan dari pengelola rumah sakit dengan implementasi Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit maupun PP No 47 Tahun 2021 yang mengatur tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan. Implementasinya dalam PP tersebut berbeda dengan Undang-undang sehingga perlu diperbaiki.
Dijelaskan, perbedaan menonjol dari dua aturan tersebut adalah tentang pengklasifikasian rumah sakit. Di dalam UU No 4 Tahun 2009 diatur rumah sakit tipe A, B, C dan D berdasarkan kewenangan memberikan pelayanan kesehatan spesialistik dan subspesialistik.
Sementara di dalam PP No 47 Tahun 2021 klasifikasi tipe A, B, C dan D tidak lagi digradasi berdasarkan kewenangan memberikan pelayanan spesialistik dan subspesialistik tetapi digradasi hanya dengan penyediaan jumlah tempat tidur.
Rumah sakit tipe A jumlah tempat tidurnya minimal 250 sedangkan tipe D adalah rumah sakit yang jumlah tempat tidurnya minimal 50. Sementara penyediaan layanan spesialistik dan subspesialistik boleh diselenggarakan oleh semua rumah sakit dari semua tipe.
“Kondisi itu menjadi kunjungan ke rumah sakit tipe B sangat turun. Rawat jalan juga turun karena dikaitkan dengan aturan JKN yang menerapkan sistem rujukan berjenjang biasanya harus dari kelas C dan D dulu dan tidak bisa langsung ke kelas B,” katanya.
Editor: Kuntadi Kuntadi