get app
inews
Aa Text
Read Next : 5 Pos Polisi di Yogyakarta Dilempari Molotov dan Batu

Jadi Sumber Kehidupan, Warga KRB Tetap Bertahan dan Bersahabat dengan Bencana Merapi

Selasa, 05 April 2022 - 18:41:00 WIB
Jadi Sumber Kehidupan, Warga KRB Tetap Bertahan dan Bersahabat dengan Bencana Merapi
Merapi dilihat dari KSM, Kalitengah Lor, Glagharjo, Cangkringan, Sleman. (Foto: Priyo Setyawan)

SLEMAN, iNews.id – Warga Lereng Merapi, terutama Kalitengah Lor, Glagaharjo, Cangkringan, Turgo, Purwobinangun, Pakem dan Tunggularum, Wonokerto, Turi, Kabupaten Sleman tetap bertahan hidup di wilayahnya. Meski berada di Kawasan Rawan Bencana (KRB) III, mereka menjalani kehidupan secara normal dan bersahabat dengan bencana.

Aktivitas warga Tunggularum, Wonokerto, Turi, Sleman yang berjarak 5,5 km dari puncak Gunung Merapi pagi ini berjalan normal. Mereka beraktivitas ke ladang untuk mencari rumput, bertani dan mencari kayu  di lereng yang berada di atas tempat tinggalnya. Setelah selesai menjalankan aktivitas mereka akan pulang, bisa siang hari bahkan ada yang menjelang petang.

Begitu juga yang bekerja di instansi baik negeri maupun swasta  pergi ke tempat kerjanya dan kembali seusai jam kantor.  Kemudian di malam hari, mengikuti kegiatan di kampung pada umumnya. 

Padukuhan Tunggularum, dihuni sekitar 200 kepala keluarga dengan 800-an jiwa.  Mayoritas pendudukan sudah berusia lanjut, yang tidak lepas tingginya usia harapan hidup.

Tokoh Masyarakat (Tomas) Wonokerto, Turi, Tomon Haryo Wirosobo mengatakan, ada beberapa alasan mengapa warga KRB lereng Gunung Merapi, tetap bertahan meski ada ancaman bencana di tempat tersebut.

Warga KRB III tetap bertahan, karena sudah merupakan siklus hidup mereka, imana sejak lahir sudah tinggal di tempat tersebut. Apapun  kondisinya  tetap  bertahan dan  tidak ada alasan mengapa harus pindah meninggalkan tempat tinggalnya.

“Kecuali secara alam ada ancaman real yang mengharuskan warga pindah. Kalau hanya nanti ada bahaya tidak percaya. Sebab mereka lebih paham tentang karakter daerahnya,” katanya.
 
Selain itu, juga alasan ekonomi. Sumber kehidupan mereka berada di tempat tersebut dan untuk menyiasatinya munculah kearifan lokal. Berada di wilayah KRB III mereka siap siaga dan akan mengembalikannya berdasarkan, mitologi, historis dan tanda-tanda fisik lainnya. Selama tidak ada pengaruh langsung mereka tetap masa bodoh.

“Secara mitologi berdasarkan leluhur, ada tanda-tanda jika  akan terjadi sesuatu,  seperti ada wan cincin di atas Merapi, atau ada suara kendaraan, derap kuda dan gamelan di alur sungai Merapi,” ujarnya.

Secara historis, mereka sudah menjalankan secara tradisi, sehingga tidak ada permasalahan. Jika ada tanda-tanda fisik, warga akan tetap patuh.  Misal saat ada luncuran awan panas ke arah barat daya dan tenggara yang mencapai 5 km, mereka akan menuju ke barak pengungsian. Namun setelah reda akan kembali ke rumahnya dan kembali menjalankan kehidupannya.

Menurut Tomon, saat ini yang penting bagi masyarakat, yaitu adanya informasi yang bersifat edukasi dan teknologi atau alat  yang bisa mendeteksi adanya bahaya erupsi Merapi. Informasi yang ada justru setelah ada erupis, setelah warga mengetahui kejadian. 

“Informasinya bukan untuk warga sebagai obyek namun untuk  publikasi dan mengambil kebijakan untuk penanganannya,” ujarnya.

Hal yang sama diungkapkan Warga Kalitengah Lor, Glagaharjo, Harjo Suwito (119). Ia mengatakan tetap bertahan di daerah KRB III Merapi, karena lahir, besar dan tumbuh di tempat itu. Termasuk tidak memiliki tempat lain. Sehingga apapun kondisinya tetap bertahan di Kalitengah Lor.

“Hidup mengalir sesuai yang dilakukan leluhurnya,”  ujarnya. 

Editor: Kuntadi Kuntadi

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya

iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut