Kasus Dugaan Salah Tangkap Klitih Gedongkuning, Kuasa Hukum Minta Kliennya Dibebaskan
BANTUL,iNews.id-Persidangan kasus kejahatan jalanan atau sering disebut klitih yang terjadi di Jalan Gedongkuning, Kotagede, Yogyakarta pada Minggu 3 April 2022 lalu akan memasuki babak baru. Selasa (8/11/2022) esok, rencananya akan memasuki agenda vonis.
Meski belum pasti hukuman yang dijatuhkan, namun kuasa hukum lima terdakwa kasus kejahatan jalanan atau klitih sudah bersiap melakukan banding ketika klien mereka dinyatakan bersalah oleh majelis hakim.
Penasihat hukum kelima terdakwa yang juga ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Yogyakarta, Arsiko Daniwidho Aldebarant menuturkan, pihaknya tetap meminta majelis hakim untuk membebaskan kelima kliennya, RNS (19), FAS (18), MMA (21), HAA, dan AMH. Karena mereka sebenarnya bukanlah pelaku kejahatan jalanan yang menewaskan satu orang ini.
"Ada indikasi klien kami bukan pelaku kejahatan jalanan tersebut,"kata dia, Senin (7/11/29229.
Menurut Arsiko, banding akan mereka lakukan karena kuasa hukum menemukan sejumlah fakta di lapangan dan persidangan. Kelima anak-anak tersebut tidak berada di Tempat Kejadian Perkara (TKP) saat terjadi kejahatan jalanan tersebut.
Empat dari kelima anak tersebut jutru berada di tempat berbeda. Saat peristiwa kejahatan jalanan tersebut terjadi di Gedongkuning, mereka mengadakan perang sarung dengan kelompok lain.
"Peristiwa itu kan terjadi pada saat bulan Ramadan. Saat itu marak perang sarung. Dan mereka juga melakukannya di perempatan Ringroad Druwo sekitar pukul 02.22 dini hari,"kata dia.
Bahkan satu dari lima terdakwa tersebut tidak bersama-sama dengan empat terdakwa lain. Dia tidak ikut perang sarung dengan empat temannya sesama terdakwa. Dia berada di tempat lain dan beraktivitas dengan orang lain.
Dia mempertanyakan penangkapan kelima kliennya tersebut dan menjadikannya sebagai terdakwa. Sebab, kelima terdakwa itu tidak di berada di lokasi kejadian saat peristiwa kejahatan jalanan tersebut terjadi.
"Ada indikasi salah tangkap. Kasihan masa depan anak anak karena belum terbukti bersalah saja sekarang ini mereka tidak bisa sekolah," ujarnya.
Kejanggalan lain yang mereka temukan adalah berkaitan dengan CCTV yang dijadikan barang bukti. Rekaman CCTV yang digunakan tidak ada satupun yang memastikan atau mengarahkan para pelaku adalah lima kliennya.
Rekaman CCTV yang digunakan juga tidak jelas gambarnya. Dan berdasarkan informasi dari Kepala Pusat Studi Forensik Digital UII Yudi Prayudi yang dihadirkan sebagai saksi ahli digital forensik kasus tersebut, ahli tersebut mengakui kesulitan mengidentifikasi sosok dalam CCTV saat terjadi kasus kejahatan jalanan tersebut.
Arsiko menyebut ada total 9 file video rekaman CCTV yang memang bukan primary source atau sumber utama. Sehingga kualitas gambar yang dihadirkan pun tidak cukup baik atau sudah tereduksi.
"Rekaman CCTV itu kan umumnya ekstensinya berupa HD atau Mov, nah ini diubah menjadi 3gp, apa akibatnya? akibatnya alat bukti ini rusak sehingga tidak dapat dilihat siapa sebenarnya yang terekam dalam CCTV," ujarnya.
Tak hanya itu, ada ketidaksesuaian pakaian atau hoodie yang dijadikan barang bukti untuk terdakwa utama atau sang eksekutor RNS. Hoodie yang dikenakan RNS pada malam kejadian berwarna kuning. Namun Hoodie yang dijadikan barang bukti berwarna abu-abu polos.
Perbedaan lain adalah terletak pada gambar di belakang hoodie. Pada CCTV nampak hoodie warna abu-abu dengan gambar kotak di bagian belakangnya. Sedangkan hoodie yang dijadikan barang bukti abu-abu polos.
"Saat kejadian RNS memakai hodie kuning, tapi saat ditangkap dia harus membawa hodie warna abu-abu seperti yang terlihat di CCTV," ujarnya.
Saksi-saksi yang dihadirkan JPU pun, lanjut Arsiko mengaku tidak melihat jelas siapa pelaku. Hanya ada satu saksi yang memberatkan dan yakin bahwa para terdakwa adalah pelaku. Saksi tersebut adalah rekan korban yang memboncengkan dan menemani korban di rumah sakit.
Namun ketika dicecar pertanyaan, saksi tersebut hanya menyebut ciri-ciri umum dari pelaku. Dia tidak bisa memastikan seperti apa ciri khusus pelaku dan dia hanya membenarkan jika RNS adalah pelaku ketika dihadirkan di persidangan. "Jadi belum ada yang jelas melihat pelakunya itu klien kami," kata dia.
Surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Nomor: REG.PKR.Pdm-32/M.4.1/Eku.2/06/2022, Tanggal 13 Oktober 2022, pun dinilai Tim Penasihat Hukum Terdakwa mengandung ketidakjelasan, ketidaksingkronan dan fitnah. Sebab tidak mendasarkan apa yang terungkap dipersidangan.
Selain itu, JPU memotong-motong keterangan saksi-saksi yang dihadirkan oleh penasihat hukum sehingga keterangan substansial tentang keberadaan terdakwa tidak dimunculkan dalam surat tuntutan. Keterangan berkaitan dengan keberadaan para terdakwa pada Minggu 03 April 2022 pada waktu pukul 02.00 WIB sampai dengan 02.30 WIB tidak termuat.
Editor: Ainun Najib