get app
inews
Aa Text
Read Next : Gempa Hari Ini Magnitudo 3,9 Guncang Gunungkidul DIY

Kenapa Jogja Tidak Termasuk Jawa Tengah? Ternyata Ini Jawabannya

Sabtu, 13 Mei 2023 - 23:12:00 WIB
Kenapa Jogja Tidak Termasuk Jawa Tengah? Ternyata Ini Jawabannya
Kenapa Jogja Tidak Termasuk Jawa Tengah? Berikut ulasannya. (Foto Ilustrasi : Ist)

YOGYAKARTA, iNews.id- Kenapa Jogja Tidak Termasuk Jawa Tengah? Untuk diketahui Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berbatasan langsung dengan wilayah Jawa Tengah. Letaknya berada di selatan Jawa Tengah. 

Secara geografis berada di Jawa bagian tengah, namun DIY tidak masuk dalam administrasi Provinsi Jawa Tengah. Ada sejarah panjang yang melatarbelakanginya.

Kenapa Jogja tidak termasuk Jawa Tengah ?

Untuk mengetahui kenapa kenapa Jogja tidak termasuk Jawa Tengah butuh penjelasan panjang. Berikut ulasan yang khusus disajikan untuk pembaca iNews.id. 

1. Di masa penjajahan Belanda.

Secara khusus Belanda menetapkan Surakarta dan Yogyakarta sebagai daerah berpemerintahan asli atau Zelfbesturende landschappen. Kedudukannya diatur dengan kontrak politik. Ada empat kerajaan yang mendapatkan status tersebut. Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran Surakarta dan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta.

Saat itu, Belanda membagi Jawa menjadi tiga provinsi. Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selanjutnya hingga 1905, Belanda membagi Jawa Tengah menjadi lima gewesten (wilayah) meliputi Semarang, Pati, Kedu, Banyumas, dan Pekalongan. Ini menjadi cikal bakal Karesidenan. 
Surakarta dan Yogyakarta tidak masuk dalam wilayah Jawa Tengah karena merupakan daerah berpemerintah asli swapraja kerajaan atau vorstenland.

2. Di masa Pendudukan Jepang 1942-1945 

Jepang tidak menerapkan kebijakan berbeda menyangkut penyelenggaraan pemerintahan di Jawa. Aturan yang diterapkan di era Belanda dipertahankan dan diberlakukan. Jawa tetap terdiri atas tiga provinsi di luar Surakarta dan Yogyakarta.

Kedudukan Surakarta dan Yogyakarta ditetapkan sebagai Kooti  atau Koochi yang artinya Daerah Istimewa. Raja Surakarta ditetapkan sebagai Solo Koo (kepala Daerah Istimewa Surakarta) dan Jogja Koo (kepala Daerah Istimewa Yogyakarta).

3. Sidang BPUPKI dan PPKI  1945

Pembicaraan intensif mengenai pembagian daerah dalam Negara Republik Indonesia setelah dibentuk Panitia Perancang Undang-Undang Dasar dalam sidang BPUPKI pada 11 Juli 1945. Panitia diketuai Ir. Soekarno dengan anggota 18 orang. Duduk dalam panitia itu utusan-utusan dari Kooti dan Zelfbesturende landschappen di Jawa seperti  KRT dr Radjiman Widyadiningrat, GPH Soerjohamidjojo, KRHA Sasradiningrat Mr. KRHT Wongsonegoro dan  KRMTH Woerjaningrat. Mereka semua mewakili Kasunanan  (Kooti Surakarta). Sedangkan dari Kasultanan (Kooti Yogyakarta) diwakili satu orang yakni BPH Poeroebojo.

Dalam rapat 11-13 Juli 1945 Panitia Perancang Undang-Undang Dasar membentuk Panitia Kecil yang diketuai Prof Dr Soepomo dengan anggota sebanyak enam orang yakni KRHT Wongsonegoro, R Panji Singgih, H. Agoes Salim, Mr Ahmad Subarjo, Mr AA. Maramis dan Dr Sukiman. Panitia Kecil berkewajiban merancang Undang-Undang Dasar dengan memperhatikan pendapat-pendapat yang telah diajukan pada Rapat Besar dan Rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar.

Rancangan Undang-Undang Dasar akhirnya dibawa dalam Rapat Besar BPUPKI pada 14 dan 15 Juli 1945. Soepomo berkesempatan memberikan penjelasan secara panjang lebar. Soepomo menjelaskan, daerah Indonesia dibagi atas daerah-daerah yang besar dan di dalam daerah besar  ada  lagi daerah-daerah yang kecil dengan mengingat dasar permusyawaratan.

Maksud dasar permusyawaratan itu tentang bentuk pemerintahan daerah harus berdasarkan permusyawaratan. Jadi ada juga Dewan Permusyawaratan Daerah. Lagi pula harus diingat hak asal usul dalam daerah-daerah bersifat istimewa.

Selanjutnya, dalam rapat PPKI pada 18 Agustus 1945 Soepomo kembali mendapatkan kesempatan menjelaskan secara keseluruhan maksud dari Rancangan Undang-Undang Dasar yang akan ditetapkan menjadi Undang-Undang Dasar.  

Dari sidang BPUPKI dan PPKI menyangkut pengaturan Kooti atau Zelfbesturende landschappen  disepakati sebagai berikut :
1. Adanya jaminan kelangsungan hidup dan kedudukan kokoh dari Kooti-Kooti dalam Rancangan Undang-Undang Dasar.
2. Susunan asli yang ada dalam Kooti-Kooti dan sultanat-sultanat dihormati dan keadaannya dinyatakan sebagai daerah.
3. Daerah Zelfbesturende landschappen  dinyatakan sebagai daerah bukan negara namun daerah itu merupakan daerah istimewa yang mempunyai sifat-sifat istimewa.
4. Penguasa Kooti adalah setingkat Gubernur
5. Wilayah Kooti-Kooti yang ada di Jawa berada di luar wilayah ketiga provinsi yang ada (Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur).
6. Pemerintahan Kooti berada langsung di bawah Pemerintah Pusat

Dengan demikian, Surakarta dan Yogyakarta yang pada masa Belanda memiliki status   Zelfbesturende landschappen dan berubah nama menjadi Kooti di masa Pendudukan Jepang, status hukumnya tidak berubah yakni sebagai Daerah Istimewa yang mempunyai susunan asli di luar ketiga provinsi yang ada di Pulau Jawa. Raja Keraton Surakarta Susuhunan Paku Buwono XII berkedudukan setingkat Gubernur dengan posisi berada langsung di bawah Pemerintah Pusat. Demikian pula kedudukan Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono IX.

4. Keputusan Sidang PPKI 19 Agustus 1945

Sidang PPKI 19 Agustus 1945 antara lain membahas pembagian daerah Negara Republik Indonesia. Disepakati untuk sementara waktu daerah Indonesia dibagi menjadi delapan provinsi yang terdiri atas Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil (Bali, NTB dan NTT) ditambah dua daerah istimewa yakni Daerah Istimewa Surakarta dan Yogyakarta. 

Presiden RI Soekarno berdasarkan keputusan PPKI tersebut mengeluarkan Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945 kepada Susuhunan Paku Buwono XII dan Adipati Mangkunegara VIII (Daerah Istimewa Surakarta) serta Sultan Hamengku Buwono IX dan Adipati Paku Alam VIII tetap pada kedudukannya  sebagai kepala daerah istimewa.

Surakarta kemudian menjadi kerajaan pertama yang mendukung Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dengan  Maklumat 1 September 1945 yang dikeluarkan Susuhunan Paku Buwono XII dan Adipati Mangkunegara VIII yang pada intinya menyatakan:
1. Surakarta merupakan Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia dan berdiri di belakang Pemerintah Negara Republik Indonesia.
2. Hubungan antara Daerah Istimewa Surakarta dengan Pemerintah Pusat bersifat langsung.
Empat hari setelah Surakarta mendukung kemerdekaan Indonesia, Kasultanan dan Pakualaman Yogyakarta mengikuti dengan Amanat 5 September 1945 yang dikeluarkan Sultan Hamengku Buwono IX dan Adipati Paku Alam VIII yang pada diksi atau bahasanya sama dengan yang dikeluarkan Surakarta sebelumnya.
1. Yogyakarta merupakan Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia.
2. Hubungan antara Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Presiden bersifat langsung.

Meski ditandatangani Presiden Soekarno pada 19 Agustus 1945, Piagam Kedudukan itu diserahkan kepada Susuhunan Paku Buwono XII dan Adipati Mangkunegara VIII pada 6 September 1945 melalui utusan khusus pemerintah pusat Menteri Keuangan AA Maramis dan Menteri Negara Mr Sartono di Surakarta. Pada tanggal yang sama piagam kedudukan itu diterima Sultan Hamengku Buwono IX dan Adipati Paku Alam VIII di Yogyakarta.

Selanjutnya pada 23 November 1945, pemerintah menerbitkan UU No. 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Kedudukan Komite Indonesia Daerah yang pada Pasal 1 menegaskan Komite Nasional Daerah diadakan- kecuali di Daerah Istimewa Surakarta dan Yogyakarta.

5. Masa Revolusi Kemerdekaan 

Yogyakarta menjadi ibu kota Negara Republik Indonesia sejak 4 Januari 1946. Mengimbangi itu, Persatuan Perjuangan (PP) yang kemudian menjadi Barisan Banteng menjadi oposisi pemerintah yang dipimpin Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir memidahkan markasnya di Surakarta. Kelompok oposisi ini dipimpin Tan Malaka dan dr Muwardi.

Pertengahan 1946 Perdana Menteri Sutan Sjahrir diculik kelompok oposisi saat kunjungan kerja di Daerah Istimewa Surakarta. Sjahrir ditawan di Pesanggrahan Paras, Boyolali. Presiden Soekarno mengambil alih kekuasaan sepenuh-penuhnya. Sistem pemerintahan dari parlementer kembali menjadi presidensial. 

Surakarta dinyatakan dalam darurat. Pemerintah RI mengeluarkan UU No. 16 Tahun 1946 tentang Pernyataan Keadaan Bahaya di Seluruh Indonesia. Isinya menetapkan undang-undang sebagai berikut: Satu-satunya pasal bahwasannya pernyataan keadaan bahaya buat :
a. Daerah Istimewa Surakarta tanggal 6 Juni 1946 
b. Jawa dan Madura tanggal 7 Juni 1946, dan
c. Seluruh Indonesia tanggal 28 Juni 1946

Selanjutnya, Pemerintah RI yang berkedudukan di Yogyakarta mengeluarkan Penetapan Pemerintah No 16 SD 1946 tentang Pemerintahan di Daerah Istimewa Surakarta dan Yogyakarta. Untuk sementara waktu dinyatakan Surakarta merupakan daerah Karesidenan yang bersifat istimewa yang langsung di bawah Pemerintah Pusat. Mengenai bentuk dan susunan pemerintahan Daerah Istimewa Surakarta akan ditetapkan denga undang-undang. Demikian pula dengan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pemerintah mengeluarkan UU No 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah sebagai pelaksanaan dari Pasal 18  UUD 1945 (asli) yang di dalamnya mengamantkan pembagian daerah besar dan kecil serta daerah istimewa diatur dengan undang-undang.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) dinyatakan daerah-daerah yang mempunyai hak-hak, asal-usul dan di zaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat Istimewa dengan undang-undang pembentukan termaksud dalam ayat (3) dapat ditetapkan sebagai Daerah Istimewa yang setingkat dengan Propinsi, Kabupaten atau Desa, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Ayat (3)  Nama, batas-batas, tingkatan, hak dan kewajiban daerahdaerah tersebut dalam ayat (1) dan (2) ditetapkan dalam Undang-undang pembentukan.

6. Lahirnya Pembentukan DIY dan Provinsi Jawa Tengah

Setelah Konferensi Meja Bundar dan pengakuan kedaulatan, Negara Republik Indonesia berbentuk serikat. Kedudukan Negara Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta berubah menjadi negara bagian dari Negara Republik Indonesia Serikat yang beribu kota di Jakarta. Konstitusi negara tidak lagi menggunakan UUD 1945 tapi Konstitusi RIS 1949. Pejabat Presiden RI (negara bagian) adalah Mr Assaat. Wilayah Negara RI (negara bagian) hanya DIY, Banten dan sebagian Sumatera. Surakarta dan Jawa Tengah tidak masuk dalam wilayah RI negara bagian.

Sama seperti UUD 1945, Konstitusi RIS 1949 juga mengatur kedudukan daerah istimewa yang harus diatur dengan undang-undang. Ini berlaku bagi Surakarta dan Yogyakarta maupun daerah-daerah istimewa di luar Pulau Jawa.

Namun demikian, Pemerintah RI (negara bagian) di bawah Pejabat Presiden RI Mr Assaat pada 3 Maret 1950 menetapkan UU No 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta yang meliputi Daerah Kasultanan dan Pakualaman ditetapkan sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta setingkat dengan provinsi. Tidak lama kemudian Mr Assaat kembali menetapkan UU No 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah.

Dalam Pasal 1 ayat (1) UU No.10 Tahun 1950 itu menyatakan  daerah yang meliputi Daerah Karesidenan Semarang, Pati, Pekalongan, Banyumas, Kedu, dan Surakarta ditetapkan menjadi Provinsi Jawa Tengah.

Surakarta bersama Yogyakarta yang sejak era Penjajahan Belanda, Jepang dan Sidang PPKI 19 Agustus 1945 ditetapkan sebagai daerah yang berada di luar Provinsi Jawa Tengah. Amanat Penetapan Pemerintah No. 16/SD Tahun 1946 tentang Pemerintahan di Daerah Istimewa Surakarta dan Yogyakarta akan ditetapkan dengan undang-undang dan dikuatkan dengan Pasal 1 ayat (2) dan (3) UU No 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah tidak sepenuhnya dijalankan.

Kesimpulan Kenapa Jogja Tidak Termasuk Jawa Tengah 

Berdasarkan uraian di atas, kedudukan Yogyakarta sebagai  daerah istimewa telah dipenuhi dengan ditetapkan UU No 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY sehingga Yogyakarta bukan menjadi bagian dari Provinsi Jawa Tengah. 

Namun sebaliknya, amanat konstitusi yang sama untuk Surakarta sampai sekarang belum dipenuhi. Bahkan ada kecenderungan diingkari. Status hukum Daerah Istimewa Surakarta sengaja diambangkan dan justru masuk Jawa Tengah. 

Nah itu tadi ulasan kenapa Jogja tak termasuk Jateng, menarik bukan ? 


Referensi:
1. Buku Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI Sekretariat Negara RI 1995
2. Buku Daerah Istimewa Yogyakarta Mr Soedarisman Poerwokoesoemo
3. Buku Pegangan Pamong Pradja Daerah Istimewa Jogjakarta 1950
4. Buku Daerah Istimewa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh Suyamto
5. Buku Surakarta Bukan Jawa Tengah oleh Kusno S. Utomo dkk
6. Tesis Sejarah dan Kedudukan Hukum Daerah Istimewa Surakarta Program Magister Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta

Editor: Ainun Najib

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya

iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut