Menelusuri Jejak Kotagede, Tempat Lahirnya Bumi Mataram

Tanah tersebut merupakan bekas daerah kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno yang hancur dipenuhi hutan lebat. Setelah itu, Ki Ageng Pemanahan melakukan pembukaan lahan yang disebut sebagai babat alas.
Awalnya, hutan Mentaok membentang dari timur laut hingga tenggara Yogyakarta yang meliputi wilayah Purwomartani, Banguntapan hingga Kotagede.
Setelah berhasil membuka lahan, hutan Mentaok saat itu menjadi tempat tinggal bagi Ki Ageng Pemanahan dan keluarga serta pengikutnya. Ki Ageng Pemanahan pun membangun area perkampungan yang makmur dibawah status kerajaan Pajang.
Pada tahun 1584, Ki Ageng Pemanahan mangkat dan perannya sebagai pemimpin desa digantikan oleh putranya, Danang Sutawijaya yang dikenal sebagai Panembahan Senopati. Putra dari Ki Ageng Pemanahan inilah yang akhirnya mendirikan Kerajaan Mataram Islam setelah mengalahkan Kerajaan Pajang.
Pada tahun 1587, Kerajaan Mataram Islam menjadi kerajaan termahsyur di pulau Jawa yang memegang konsep Catur Gatra Tunggal. Konsep tatanan kawasan tradisional ini meliputi keraton sebagai rumah raja, pasar sebagai pusat perekonomian, alun-alun sebagai pusat sosial dan masjid sebagai tempat beribadah.
Perjalanan periodesasi pemerintahan yang memiliki pengaruh besar di Kotagede saat ini dapat dilihat dari segi arsitektur rumah dan bangunannya, yaitu masa Mataram awal (Abad 17) yang bercorak Hindu-Jawa-Islam, masa Kotagede yang bercorak Jawa-Islam, dan masa awal abad 20 yang bercorak Indische perpaduan Jawa.
Bangunan joglo pada periode Jawa Hindu memiliki ornamen berupa ukiran daun-daunan , sulur-suluran, bunga teratai, dan gambar binatang. Kemudian, bangunan Joglo periode Jawa-Islam memiliki ukiran dengan ornamen kaligrafi Islam. Sementara itu, joglo periode Jawa-kolonial ukirannya berupa mahkota kerajaan Belanda dengan perpaduan besi, jendela besar, atau kaca patri khas Barat.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) ibukota Kerajaan Mataram Islam dipindahkan ke Kerto, jaraknya 4,5 kilometer ke arah selatan. Sementara itu, Kotagede menjadi pusat perdagangan penduduk yang kemudian muncul sebutan Pasar Gede.
Meskipun saat ini Kotagede sudah tidak lagi berfungsi sebagai pusat pemerintahan, Kotagede tetap hidup sebagai daerah di Yogyakarta yang penuh dengan hiruk pikuk aktivitas manusia. Di kawasan itu masih dapat disaksikan rumah-rumah tradisional kuno, meskipun tidak sejaman dengan masa keemasan Kotagede. Fasad bangunan di Kotagede secara tidak langsung telah memberikan identitas kawasan Kotagede sebagai kawasan bersejarah.
Saat ini, Kotagede lebih dikenal dengan sebutan kota perak. Hal ini karena banyak industri perak yang berdiri di Kotagede sekitar tahun 1920-1930-an. Kotagede saat ini bukan lagi sebagai pusat pemerintahan melainkan sebagai salah satu tempat kunjungan destinasi wisata budaya.
Editor: Ainun Najib