Peradaban Yogyakarta Dibangun dari Hutan dan Sungai Bukan Kota, Begini Penjelasannya
YOGYAKARTA, iNews.id- Wilayah Yogyakarta dilewati oleh tujuh aliran sungai. Ternyata sungai dan hutan adalah dua komponen yang tidak bisa dipisahkan dari terbangunnya peradaban Yogyakarta sekarang ini.
Hal itu disampaikan oleh Filolog Jawa Kuna dan Sanskerta Kanjeng Raden Tumengung (KRT) Manu J Widyaseputra. Filolog adalah orang yang ahli dalam bidang filologi. Filologi sendiri adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang sejarah, pranata, dan kehidupan suatu bangsa yang terdapat dalam naskah-naskah lama.
Menurut KRT Manu J Widyaseputra dalam Kakawin Ramayana, disebutkan bahwa wilayah Mataram yang kini menjadi disebut Yogyakarta dilintasi oleh tujuh sungai, yakni sungai Progo, Bedog, Winongo, Code, Gajahwong, Oyo, dan Opak.
Sungai Winongo adalah satu-satunya sungai yang langsung bermuara ke pantai selatan. Sedangkan Sungai Code dan Gajahwong bermuara di Sungai Opak yang kemudian akan menyatu dengan Sungai Oyo sebelum bermuara bersama-sama di Pantai Samas, Bantul. Sementara itu, Sungai Bedog bermuara di Sungai Progo sebelum bersama-sama bermuara di pantai selatan juga di Pantai Trisik, Kulonprogo.
"Di sepanjang sungai yang jumlahnya tujuh tadi, itu di situ pasti ada asrama. Asrama itu rata-rata berada di tepi sungai dan di tengah hutan," kata KRT Manu J Widyaseputra dalam acara Reinterpretasi Sumpah Gajah Mada: Menuju Relasi yang Lebih Harmonis Antara Bumi dan Manusia di Kotagede, Yogyakarta Selasa (21/02/2023).
Menurutnya, asrama tersebut menjadi tempat bagi para calon Brahmana untuk menimba ilmu. Sebab, sebelum menjadi Brahmana, seseorang harus menguasai 377 jenis pengetahuan, yang kemudian diuraikan lagi menjadi 1.380 jenis pengetahuan.
Di asrama tersebut, Brahmana memiliki dua jenis siswa, yakni Brahmacari yang melakukan studi tentang intelektual, dan Sudra yang belajar tentang hal-hal praktis, pada era sekarang mirip dengan siswa SMA dan SMK.
Saking banyaknya jenis pengetahuan yang harus dikuasai oleh calon Brahmana, seringkali sebuah asrama tak mampu mencukupi sendiri sumber pengetahuan yang harus dipelajari oleh para siswanya. Karena itu, seorang Brahmacari atau calon Brahmana harus mencari ilmu di tempat lain dengan melakukan perjalanan.
"Dia akan menimba ilmu di asrama yang lain, untuk melengkapi pengetahuan yang tidak dimiliki oleh asramanya sendiri," ujarnya.
Perjalanan itu seringkali tak hanya dilakukan di daerah Mataram atau bahkan Jawa saja. Seringkali seorang calon Brahmana juga harus melakukan perjalanan menimba ilmu ke seluruh Nusantara, bahkan dunia.
Setelah berhasil mengumpulkan semua ilmu pengetahuan yang dibutuhkan, barulah seorang siswa diberikan tanda lulus berupa upanayana. Setelah itu dia diberikan kebebasan oleh gurunya untuk melanjutkan menjadi seorang Brahmana, atau kembali ke rumah untuk menjadi Ksatria.
"Inilah yang perlu kita ketahui bahwa di lingkungan Yogyakarta ini itu adalah wilayah-wilayah Brahmana mencari ilmu yang kemudian membentuk peradaban kita," kata dia.
Karena itu, KRT Manu J Widyaseputra menyayangkan ketika melihat banyak sungai dan hutan saat ini rusak. Padahal, sungai dan hutan itulah yang menjadi cikal bakal terbangunnya peradaban Yogyakarta saat ini.
“Yang jelas saya katakan bahwa peradaban pada masa lalu itu muncul di tepi sungai dan di hutan, bukan di kota. Jadi kita punya peradaban tinggi itu awalnya dari sana. Ketika sekarang hutan kita rusak, sungai kita rusak, kita tidak punya lagi wilayah yang membentuk peradaban itu," kata KRT Manu J Widyaseputra.
Editor: Ainun Najib