Saking Marahnya Dicurangi Belanda, Pangeran Diponegoro Cengkeram Kursi hingga Berantakan
Dia mempertanyakan apakah hukuman buang tersebut merupakan watak dari penguasa Eropa yang telah memenangkan perang.
"Apakah sudah menjadi kebiasaan di Eropa," tanya Diponegoro, "untuk mengasingkan seorang pemimpin yang kalah perang ke sebuah pulau terpencil dan memutus hubungannya dengan semua kaum kerabatnya?".
Pertanyaan yang bernada gugatan tersebut diajukan Diponegoro di atas kapal Pollux yang sedang berlayar mengarungi samudera menuju Manado. Dalam catatannya Letnan Dua Knoerle menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan pemimpin rakyat Jawa tersebut.
Knoerle mengutip contoh Napoleon (1769-1821) yang kata dia persis dengan Pangeran Diponegoro yang berusia 44 tahun saat pertama kali diasingkan (Maret 1814). Pengasingan dengan cara yang baik. "Sehingga tidak meninggalkan kenangan yang menyakitkan," kata Knoerle seperti dikutip sejarahwan Peter Carey.
Namun kenyataanya saat di atas kapal Pollux Diponegoro mengalami situasi yang tidak mengenakan. Situasi yang lebih disebabkan pengalamannya akan laut yang terbatas.
Perjumpaan Diponegoro dengan laut selama ini hanya sebatas laut selatan, yang itu pun saat berziarah (1805) dan bermeditasi di Goa Surolanang (awal 1825). "Maka bagi Diponegoro terkatung-katung di laut-yang lebih banyak tenang- selama hampir enam minggu tentu bukan pengalaman yang menyenangkan," tulis Peter Carey dalam “Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855)".
Letnan Dua Knoerle mencatat secara rinci semua yang terjadi selama pelayaran. Pada lima hari pertama pelayaran, empat orang dari 50 anggota pasukan yang mengawal Pangeran Diponegoro, tewas.
Upacara penguburan dengan pasukan kehormatan berjalan lambat. "Bunyi genderang pengiring upacara terdengar dengan jelas di kamar Pangeran yang letaknya di bawah geladak belakang kapal," tulis Knoerle.
Editor: Ainun Najib