Dia menerangkan Bantul sendiri pernah mencatat ledakan kasus DBD di wilayah mereka. Ledakan tersebut terjadi di tahun 2016 di mana ada 2.442 orang warga Bantul yang terjangkit DBD, dengan angka kematiannya 4.orang. "Angka kematian 0,12 persen saat itu," ujarnya.
Oki menjelaskan untuk kematian yang terjadi tahun ini, berdasarkan kesimpulan dari audit yang mereka lakukan ternyata penyebab kematian pasien DBD tahun ini karena keterlambatan merujuk dari keluarga bukan dari faskes. Di mana pasien dibawa ke rumah sakit atau faskes sudah taraf masa kritis.
"Agar tidak terulang, kami berupaya mengajak PSN (pemberantasan sarang nyamuk) dan mulai menerapkan tehnologi Aedes wolbacia,"ujar dia
Dan untuk mencegah kasus DBD terhadap seorang pasien menjadi lebih berat kini semua Puskesmas sudah dibekali dengan laboratorium yang bisa digunakan untuk mendeteksi lebih awal DBD. Di samping itu di rumah sakit rujukan yang ada ICU yang ditujukan khusus anak-anak di bawah bayi dan anak yang lebih tua
Hanya saja Oki menyebut, permasalahan yang kini mereka hadapi adalah tren masyarakat yang kembali ke tren sebelum tahun 2016. Di mana kewaspadaan masyarakat sudah menurun dilihat dari minat masyarakat untuk lebih cepat memeriksakan diri agak turun.
"Kemungkinan takut divonis Covid dan abai juga. Jadi mereka enggan memeriksakan diri," kata dia.
Editor : Ainun Najib
Artikel Terkait