Bangunan beratap jolgo atau yang paling tinggi dengan sudut kemiringan paling tajam disebut atap brunjung. Sedangkan di bawahnya dengan sudut yang lebih landai disebut atap penanggap. Pada beberapa bangunan joglo yang lebih luas atau lebih besar terdapat atap di bawah atap penanggap yang disebut atap penitih atau peningrat.
Kadang masih ada atap yang berada di bawahnya yang disebut emper atau tratag. Variasi bangunan berbentuk atap joglo ada beberapa namun berdasarkan naskah lama bangunan rumah berarsitektur tradisinoal Jawa memiliki 7 variasi atap.
Kepuhan adalah Joglo yang memakai bangun Padaringan Kebak atau balungan tergolong tipis-tipis. Kemudian pengrawit memakai balok lambing gantung atap brunjungnya diregangkan dari atap penanggap atau emper diregangkan dari atap penanggap. Di atasnya ada sudut memakai saka benthung yang ditepatkan di dudur (jurai regangan tadi ditutup papan memakai umping 5 lapis, singup dan gonja).
Kemudian Trajumas di mana tiang penyangga sebanyak 6 dengan atap emper berkeliling. Kemudian wantah memakai tumpeng lima lapis dan memakai singup, memakai gonja dan takir lumajang. Kemudian ceblokan di mana tanpa sunduk dan tiangnya ditanam langsung ke tanah.
Selain itu ada Tawon Boni berukurang bujur sangkar memakai sirah gada, tanpa ander, memakai tumang lima lapis. Memakai singup dan takir lumajang. Terakhir Semar Tinandu yang memakai balok pangeret dua batang, tiang penyangga dua batang dan diletakkan di tengah balok pangeret.
Ruangan Rumah Joglo terdiri atas pendopo yang berfungsi sebagai ruang pertemuan dan tempat bermusyawarah, pringgitan yang berfungsi sebagai ruang tengah dan sering digunakan sebagai tempat kegiatan adat. Selain itu ada dalem yang difungsikan sebagai ruang privat, omah jero yang difungsikan sebagai ruang keluarga, Senthong Kiwa sebagai kamar kiri umumnya tempat menyimpan barang-barang dan senjata. Senthong Tengah untuk menyimpan benih, bibit, akar-akaran, gabah atau ruang berdoa. Kemudian Senthong Tengen sebagai tempat tidur.
Editor : Kuntadi Kuntadi
Artikel Terkait