Ilustrasi inflasi (Foto: Ist)
Kuntadi

SLEMAN, iNews.id -  Pengamat Perbankan, Keuangan, dan Investasi Universitas Gadjah Mada (UGM) I Wayan Nuka Lantara memprediksikan bakal terjadi resesi ekonomi pada 2023. Kondisi ini muncul karena terjadi lonjakan inflasi dampak dari konflik Rusia-Ukraina. 

Menurutnya, konflik kedua negara akan berdampak terhadap melonjaknya inflasi. Hal ini akan diikuti dengan kebijakan peningkatan pengetatan moneter oleh bank sentral di negara Eropa dan Amerika. Mereka akan menaikkan tingkat bunga acuan yang akan berdampak juga pada kebijakan yang diambil bank sentral di negara lainnya. 

Apabila bunga acuan meningkat, maka biaya modal dan bunga kredit yang akan ditanggung juga akan naik. Dampak lanjutannya biasanya diikuti oleh mata uang lokal yang melemah terhadap mata uang asing. 

“Jika suatu negara memiliki banyak pinjaman dalam mata uang asing, maka jumlah mata uang lokal yang akan dikeluarkan untuk membayar pinjaman dalam mata uang asing juga akan meningkat,” katanya, Jumat (30/9/2022). 

Jika kondisi tidak membaik, maka kombinasi rentetan harga produk yang meroket, inflasi yang meningkat, bunga acuan kredit naik, serta pelemahan mata uang lokal, akan menyebabkan terjadinya krisis ekonomi global.

Untuk mengantisipasi hal ini, masyarakat tidak perlu resah. Mereka harus bisa mengelola keuangan pribadi menghadapi ancaman resesi ini. Namun upaya penyiapan dana darurat penting dilakukan, dengan dibarengi tambahan penghasilan dan identifikasi pos-pos pengeuaran. 
  
“Investasi selama ini terbukti menjadi cara yang efektif untuk melawan dampak negatif inflasi,” katanya. 

Wayan mengingatkan agar investasi yang dipilih harus bisa mengantisipasi terjadinya krisis ekonomi global seperti menggeser bobot dana investasi pada aset investasi yang tergolong aman. Investasi yang aman, di antaranya deposito, emas dan surat berharga yang diterbitkan oleh negara. 

Jika ingin melakukan investasi di saham harus cerdas memilih. Salah satunya yang bergerak pada sektor industri yang defensif yang bisa bertahan meskipun ada krisis.

"Misalnya saham perusahaan yang bergerak di industri consumer goods, kesehatan, bank, energi dan utilitas,"  katanya. 


Editor : Kuntadi Kuntadi

BERITA TERKAIT