Pakar Geofisika UGM, Wahyudi mengatakan, sejak tahun 2012 sebenarnya Gunung Semeru telah dinyatakan memiliki status Level 2 atau Waspada. Kemudian pada September 2020 mulai teramati aktivitas berupa kepulan asap putih dan abu-abu setinggi 200-700 meter di puncak Semeru.
Aktivitas serupa berlanjut di Oktober 2020 setinggi 200-1000 meter. Sedangkan pada 1 Desember 2020 terjadi awan panas sepanjang 2-11 kilometer ke arah Kobokan di lereng tenggara. Pada 90 hari terakhir, tampak adanya peningkatan aktivitas kegempaan, terutama gempa erupsi.
“Ada yang mencapai 100 kali per hari, ini sudah bisa dijadikan prekursor terjadinya erupsi yang lebih besar,” kata Wahyudi.
Guguran kubah lava dipicu tingginya curah hujan yang menyebabkan terjadinya luncuran awan panas yang jarak mencapai 11 kilometer. Secara saintifik, curah hujan yang tinggi bisa menyebabkan ketidakstabilan pada endapan lava.
“Pada beberapa kasus, faktor eksternal seperti curah hujan yang tinggi memang bisa menyebabkan thermal stress dan memicu ketidakstabilan dalam tubuh kubah lava. Kubah lava sudah tidak stabil, dipicu hadirnya curah hujan tinggi menyebabkan adanya longsor,” katanya.
Untuk mengetahui faktor dominan penyebab erupsi pada tanggal 4 Desember lalu, perlu dilakukan analisis data secara terintegrasi yang mencakup data gempa vulkanik, deformasi, gas, dan data curah hujan secara temporal dalam beberapa bulan terakhir. Data-data tersebut dikorelasikan dengan kejadian, baik guguran dengan magnitude kecil maupun magnitude besar.
Editor : Kuntadi Kuntadi
Artikel Terkait