Sejarah Pasar Kembang Jogja(Foto: Istimewa).

YOGYAKARTA, iNews.id -  Sejarah Pasar Kembang Jogja merupakan cermin panjang perjalanan Yogyakarta sebagai kota budaya yang dinamis. Kawasan yang kini dikenal dengan nama Sarkem menyimpan kisah yang berlapis: mulai dari pasar bunga yang sederhana, hingga menjadi bagian dari kehidupan malam kota yang terkenal. 
Di balik kesan “ramai dan penuh warna” itu, ada sejarah sosial dan ekonomi yang mencerminkan cara masyarakat beradaptasi dengan perubahan zaman.

Sejarah Pasar Kembang Jogja

Pada masa kolonial Hindia Belanda, kawasan yang kini disebut Pasar Kembang dikenal dengan nama Balokan. Nama ini muncul karena daerah tersebut menjadi tempat penyimpanan balok-balok kayu yang digunakan untuk bantalan rel kereta api. 

Letaknya yang berdekatan dengan Stasiun Tugu menjadikan Balokan kawasan yang ramai, terutama oleh para pekerja, pedagang, dan pelancong yang datang dari berbagai daerah.

Seiring berjalannya waktu, banyak warga mulai berdagang bunga di sekitar lokasi itu. Bunga-bunga tersebut dijual untuk kebutuhan upacara adat, penghormatan di makam, dan kegiatan keagamaan. Dari aktivitas inilah muncul nama Pasar Kembang, yang secara harfiah berarti “pasar bunga”. 

Jadi, asal mula nama Pasar Kembang tidak berkaitan dengan hiburan malam, melainkan berasal dari aktivitas jual beli bunga yang benar-benar ada pada masa itu.

Perubahan Fungsi dan Munculnya Sebutan “Sarkem”

Dalam buku Sarkem: Reproduksi Sosial Pelacuran karya Mudjijono (Gadjah Mada University Press, 2005), perubahan fungsi kawasan Pasar Kembang dimulai ketika Yogyakarta mengalami pertumbuhan penduduk dan mobilitas tinggi akibat pembangunan jalur kereta api. 

Banyak pendatang datang ke kota untuk bekerja atau berdagang, sehingga kebutuhan akan tempat hiburan dan persinggahan meningkat.

Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa kawasan Pasar Kembang mulai berkembang menjadi tempat yang menyediakan hiburan malam dan penginapan sederhana. Aktivitas ini kemudian membentuk ekosistem sosial baru yang kompleks. 

Ada pedagang, pekerja hiburan malam, sopir becak, tukang makanan, dan warga sekitar yang hidup berdampingan. Aktivitas ekonomi di kawasan ini tidak hanya terkait hiburan, tetapi juga soal mencari nafkah dan bertahan hidup.

Kehidupan Sosial di Sarkem

Penelitian “Prostitusi dan Kekuasaan di Jantung Yogyakarta” oleh Bramastya Gadiansah (UGM, 2010) menggambarkan bahwa keberadaan prostitusi di kawasan Pasar Kembang tidak terlepas dari peran warga lokal. 

Ada tokoh masyarakat, preman, hingga aparat yang membentuk jaringan kekuasaan kecil untuk menjaga stabilitas sosial dan ekonomi di sana. Jaringan inilah yang membuat kawasan ini bertahan lama, meskipun sering menjadi perdebatan moral di masyarakat.

Penelitian lain dari UIN Sunan Kalijaga berjudul “Prostitusi di Sosrowijayan” menyoroti hubungan sosial antara warga sekitar dengan para pekerja malam. Warga membuka warung, tempat kos, atau usaha kecil lain untuk melayani kebutuhan penghuni Sarkem. Hubungan mereka tidak semata-mata bersifat ekonomi, tetapi juga sosial. Banyak warga saling mengenal dan saling membantu dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi masyarakat yang telah berusia lanjut dan masih mengingat Yogyakarta pada tahun 1970–1980-an, suasana Pasar Kembang saat itu begitu hidup.

 Lampu warna-warni menerangi jalan sempit, musik mengalun dari kafe kecil, dan deretan becak menunggu penumpang hingga larut malam. Kawasan itu mungkin dianggap “gelap” oleh sebagian orang, namun bagi banyak warga, itulah tempat mereka menggantungkan hidup.


Editor : Komaruddin Bagja

Halaman Selanjutnya
Halaman :
1 2
BERITA POPULER
+
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network