Asal Usul Rebo Wekasan
Sepeninggal mBah Kyai, lalu masyarakat meyakini bahwa mandi di pertempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan mendatangkan berkah ketenteraman, sehingga setiap hari Rebo Wekasan masyarakat berbondong-bondong untuk mencari berkah.
Versi kedua tidak jauh berbeda, hanya saja Upacara Rebo Wekasan ini tidak terlepas dari Keraton Mataram dengan Sultan Agung yang dulu pernah berkraton di Pleret.
Upacara adat ini diselenggarakan sejak tahun 1600. Pada masa pemerintahan Mataram terjangkit wabah penyakit atau pagebluk. Kemudian diadakan ritual untuk menolak bala wabah penyakit ini dan Rebo Pungkasan ini diadakan sebagai wujud doa.
Versi ketiga, Kyai Muhammad Faqih dari Desa Wonokromo yang juga disebut Kyai Welit, karena pekerjaannya adalah membuat welit atau atap dari rapak (daun tebu).
Mereka ini mendatangi Kyai Welit supaya membuatkan tolak bala yang berbentuk wifik atau rajah yang bertuliskan Arab. Rajah ini kemudian dimasukkan ke dalam bak yang sudah diisi air lalu dipakai untuk mandi dengan harapan supaya yang bersangkutan selamat.
Adat tersebut kemudian dinamai malam Rebo Pungkasan. Sebelum proses adat ini dilakukan biasanya terdapat pasar malam di Lapangan Desa Wonokromo yang diadakan seminggu sebelum malam puncak Rabu Pungkasan.
Upacara tersebut tersusun atas sambutan takmir masjid, pembacaan sholawat, dan doa bersama yang dipimpin salah seorang sesepuh desa Wonokromo.
Setelah doa bersama Lemper raksasa yaitu sebuah tiruan lemper yang berukuran tinggi 2,5 meter dengan diameter 80 cm dan Gunungan tersebut diarak dari Masjid Karanganom hingga ke Balai Desa Wonokromo.
Lemper dan Gunungan tersebut, diarak oleh beberapa pasukan atau bregodo (dalam bahasa jawa), bregodo Sembrani, bregodo Abang, bregodo Umbul-umbul bregodo Gamelan dan bregodo Mburi. Bregodo Sembrani berjumlah sekitar 28 orang.
Bregodo Mburi berjumlah 40 orang dan dipimpin oleh kapten bregodo. Bregodo Abang yang bertugas memikul berjumlah 20 orang, bregodo Gamelan berjumlah 10 orang yang terdiri atas satu peniup terompet, dua peniup seruling, 2 penabuh bendhe, 2 penabuh tambur dan 2 penabuh Jedog, sedangkan bregodo Umbul-umbul berjumlah 10 orang.
Komando pusat dipegang oleh seorang Panji atau panglima perang. Panji yang tersebut bertugas mengatur pasukan yang mengawal Lemper Agung dan Gunungan tersebut sampai di hadapan Kepala Desa Wonokromo dengan aman.
Adapun rute arak-arakan tersebut melewati jalan Imogiri Timur dan menempuh jarak sekitar 2 kilometer. Selama prosesi lemper raksasa diusung dari depan masjid dan dikirabkan, setelah itu lemper diturunkan di kantor balai desa.
Di lokasi sudah banyak para tamu undangan yang menunggu kehadiran lemper raksasa tersebut. Setibanya di balai desa Wonokromo, Lemper dan Gunungan dinaikkan ke atas pendhopo balai desa.
Di hadapan pendopo telah menunggu ribuan warga dari berbagai wilayah untuk berebut lemper dan gunungan tersebut. Setelah lemper Agung dan Gunungan tersebut naik diatas pedhopo, diadakan upacara pemotongan lemper.
Diawali dengan sambutan Kepala Desa Wonokromo, pemaknaan dari perayaan tersebut oleh sesepuh lalu doa bersama dan dilanjutkan pagas lemper atau pemotongan lemper oleh Bupati Bantul, Camat Kecamatan Pleret dan Kepala Desa Wonokromo.
Editor : Kastolani Marzuki
Artikel Terkait