YOGYAKARTA, iNews.id- Cerita rakyat Yogyakarta selalu menarik diikuti. Salah satunya tentang cerita terbentuknya Kali Gajah Wong. Konon sungai ini menjadi lokasi memandikan gajah milik Sultan.
Kali Gajah Wong yang terletak di Kotagede, Yogyakarta. Masyarakat sekitar menyebutnya dengan sebutan ‘kali’ atau ‘kalen’ yang berarti sungai kecil. Kali yang berada di tengah kota memiliki panjang yang tidak lebih dari 20 kilometer.
Cerita Rakyat Yogyakarta, Asal Usul Gunung Merapi Dulu Dihuni 2 Empu Sakti
Saat ini, sejumlah lokasi di pinggiran Kali Gajah Wong telah diubah menjadi spot menarik bagi masyarakat. Salah satunya adalah Objek wisata ‘Dermaga Cinta Kali Gajah Wong’. Pengunjung dapat melihat ribuan ikan nila yang berenang kesana kemari di saluran irigasi yang teletak di bantaran Kali Gajah Wong.
Namun, apakah kalian tahu, bagaimana asal-usul penamaan sungai kecil ini sehingga disebut dengan Kali Gajah Wong? Nah mari kita simak ulasan iNews.id.
Cerita Rakyat Yogyakarta : Roro Jonggrang, Perintah 1.000 Candi dalam Semalam
Alkisah, pada abad ke-17, terdapat sebuah kerajaan yang megah di wilayah Yogyakarta tepatnya di Kotagede. Kerjaan tersebut adalah Kerajaan Mataram. Dipimpin oleh seorang Sultan, yang bernama Sultan Agung. Kerajaan ini memiliki ribuan prajurit dengan barisan pasukan berkuda dan pasukan gajah. Tentunya, menjadi seorang Sultan pasti memiliki abdi dalem yang membantu segala urusannya. Ki Sapa Wira, seorang abdi dalem yang sangat setia kepada Sultan Agung.
Pekerjaan Ki Sapa Wira ini setiap pagi ialah memandikan gajah milik Sultan yang berasal dari Negeri Siam (Thailand) yang bernama Kyai Dwipangga. Ki Sapa Wara selalu memandikan Kyai Dwipangga dengan lembut di sungai yang letaknya tak jauh dari Keraton Kerajaan Mataram. Ki Sapa Wira juga kerap mengajak Kyai Dwipangga untuk berbicara. Meskipun ia tahu, Kyai Dwipangga tak akan membalasnya, namun, ia yakin dengan hal seperti ini, Kyai Dwipangga akan merasa nyaman tiap kali dimandikan olehnya.
Kisah Asal-usul Nyi Roro Kidul, Diusir dari Istana hingga Jadi Penguasa Pantai Selatan
Namun, pada suatu hari, Ki Sapa Wara tidak dapat memandikan Kyai Dwipangga dikarenakan tangannya sedang sakit. Lantas, dia meminta bantuan kepada adik iparnya, yang bernama Ki Kerti Peyok untuk memandikan Kyai Dwipangga.
“Kerti, aku minta bantuanmu, aku tidak bisa bekerja hari ini. Tanganku sakit, sulit untuk digerakkan. Tolonglah aku, tolong mandikan Kyai Dwipangga di sungai dekat sini,” pinta Ki Sapa Wara kepada adik iparnya.
Ki Kerti Peyok menyanggupi permintaan kakak iparnya itu. Namun, sebelumnya ia meminta informasi bagaimana agar Kyai Dwipangga nurut kepada dirinya yang termasuk orang asing di mata Kyai Dwipangga.
Ki Sapa Wira kemudian memberikan tipsnya, di mana ketika Kyai Dwipangga merasa gelisah, maka hal yang perlu dilakukan adalah menepuk pantatnya dan tarik pelan-pelan ekornya. Nanti secara perlahan dia akan kembali tenang dan berendam di sungai, kemudian tinggal dimandikan saja. Ki Kerti Peyok mendengarkan tips dari kakaknya secara cermat dan ia mulai memahaminya.
Tak lama, Ki Kerti Peyok kemudian mengajak Kyai Dwipangga untuk mandi di sungai. Sama seperti kakaknya, Ki Kerti juga mengajak ngobrol Kyai Dwipangga selama perjalanan menuju sungai. Di tengah perjalanan, Ki Kerti memberikan bekalnya berupa sebutir kelapa kepada Kyai Dwipangga.
Dirasa gajah milik sultan sudah kenyang, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Sesampainya di sungai, Ki Kerti langsung menjalankan tugasnya dengan baik. Kyai Dwipangga pun juga tidak memberontak. Kini, tubuh Kyai Dwipangga sudah bersih, harum, dan mengkilap berarti sudah waktunya untuk membawanya kembali ke kandang.
Sesampainya di kerajaan, Ki Kerti tak lupa memberikan laporannya kepada Ki Sapa Wara bahwa dirinya telah berhasil memandikan gajah dari Negeri Siam itu. Ki Sapa Wara senang mendengarnya. Dia kemudian meminta bantuan lagi karena dirinya belum sembuh total padahal Kyai Dwipangga harus dimandikan setiap hari. Ki Kerti pun menyanggupinya lagi. Tak lupa Ki Sapa Wara menyampaikan pesan kepada Ki Kerti untuk tidak memandikan Kyai Dwipangga di hilir kali.
Editor: Ainun Najib