Kisah Diponegoro Dapat Sokongan Emas hingga Permata dari Priayi untuk Biaya Perang

JAKARTA, iNews.id - Pangeran Diponegoro mengobarkan perang besar-besaran melawan kolonial Belanda. Perang Jawa itu menjadi salah satu yang sulit dihadapi Belanda karena menghabiskan biaya perang yang besar.
Hal yang sama juga dialami Pangeran Diponegoro. Namun, konsistensi dia dan pasukannya melawan Belanda tak lepas dari sokongan dana para pangeran dan priayi Jawa.
Peter Carey dalam buku "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855" mengisahkan para pangeran dan priayi ini menyumbangkan emas, permata, uang hingga barang berharga lainnya.
Semua sumbangan ini dibawa ke medan perang oleh para istri dan putri mereka. Tak hanya pasokan dari para priayi, iring-iringan konvoi Belanda yang membawa logistik perang juga diserang. Hasil rampasan ini digunakan untuk membiayai pertempuran-pertempuran awal.
Banyak pengikut Diponegoro yang berkumpul di Gua Selarong telah siap berperang melengkapi dirinya dengan senjata-senjata tradisional seperti ketapel, gada, dan tombak yang terbuat dari bambu yang diruncingkan alias bambu runcing.
Mereka berdatangan ke Selarong mulai akhir Juli hingga awal Agustus untuk menerima perintah Diponegoro. Setelah itu mereka langsung pergi menempati pos-pos yang ditentukan bagi mereka.
Pasukan Pangeran Diponegoro dibekali dengan senjata api, termasuk persenjataan dan meriam yang dirampas dari Belanda. Tetapi di sisi lain, ada pasokan mesiu dan amunisi dari produk pabrikan lokal, seperti Samen dekat Bantul, Into-Into dekat Kali Progo, dan Dekso markas besar pangeran pertama di Kulonprogo.
Daerah-daerah itu merupakan penghasil peluru dan mesiu berkualitas yang dikerjakan oleh wanita-wanita desa. Pusat industri senjata Kota Gede yang terkenal dengan tukang pandai besi juga turut menyumbangkan keterampilannya untuk membuat peluru dan mesiu.
Tetapi pada umumnya keris adalah senjata yang paling utama dipakai melawan tentara Belanda. Dengan diikat di ujung bambu, senjata ini langsung berfungsi sebagai tombak untuk menjatuhkan serdadu kavaleri Belanda dari kuda, sebelum sempat mengisi mesiu ulang senjatanya.
Keris menjadi senjata utama yang juga dimanfaatkan masyarakat untuk bertani. Para petani ini dapat dengan mudah menyergap pasukan Belanda dengan keris yang mereka bawa. Peralihan pekerjaan dari sawah ke medan peperangan menjadi hal yang begitu kesulitan dideteksi Belanda.
Setelah penyergapan, mereka akan mencopot keris dari ujung bambu dan menyimpannya kembali. Mereka akan bergabung dengan masyarakat desa lain untuk melanjutkan identitas mereka sebagai petani biasa seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Editor: Reza Yunanto