Masjid Gedhe Kauman, Saksi Sejarah dan Pusat Kerajaan Islam di Jawa
YOGYAKARTA, iNews.id – Berkunjung ke Kota Yogyakarta tidak lengkap kalau tidak berwisata ke Keraton Yogyakarta. Salah satu bukti dan peninggalannya berupa Masjid Gedhe Kauman.
Setiap Bulan Ramadan, masjid ini selalu dibanjiri masyarakat untuk melaksanakan salat tarawih dan mengikuti pengajian menjelang buka puasa.
Masjid Gedhe Kauman, merupakan salah satu masjid tertua di Tanah Air. Dari data yang ada, masjid ini dibangun pada 29 Mei 1973 pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono (HB) I dan Kiai Fakih Ibrahim Diponingrat yang merupakan penghulu pertama.
Masjid ini menjadi salah satu pusat syiar agama Islam di Keraton Yogyakarta. Lokasinya berada di sisi barat Alun-alun Utara atau hanya beberata ratus meter dari pagelaran Keraton.
Bangunan masjid ini menggunakan arsitek Jawa. Tidak hanya megah bangunan yang ada juga memiliki nilai sejarah. Meski usianya sudah tua, sampai saat ini masjid ini masih dipakai untuk kegiatan peribadatan.
“Masjid Gedhe ini dibangun sebagai kelengkapan Kerajaan Islam dan syiar,” kata Penghulu Keraton Yogyakarta KRT H Ahmad Muslim Kamaludiningrat, Kamis (9/5/2019).
Menurutnya, pada awal pembangunan awal, masjid ini memiliki atap bersusun tiga. Bangunan ini menggunakan gaya tradisiona yang dikenal dengan tajuk lambang teplok.
Namun beberapa tahun kemudian bangunan masjid mengalami penambahan berupa serambi yang Al Makhamah Al Kabiroh. “Serambi ini dibangun karena jumlah jamaah yang terus bertambah,” ujarnya.
Salah satu keistimewaan bangunan utama masjid ini, ditopang 36 tiang jati yang usianya sudah ratusan tahun. Semua kayu yang dipakai tanpa ada sambungan. Sedangkan saka guru atau tiang utma ada 4 dengan tinggi masing-masing empat meter. “Semua tiang ini dengan kayu jati yang berusia 400 sampai 500 tahun,” ucapnya.
Pada bangunan utama yang menjadi tempat utama peribadatan dibuat alami tanpa ada hiasan. Sedangkan di serambi banyak ditemukan hiasan dan oramen khas Keraton.
Sejumlah tulisan kaligrafi juga menghiasi dinding yang merupakan kalimah syahadat ditopang dengan soko atau tiang menjadi perwujudan bahwa manusia yang berpegang teguh pada Allah dan Muhammad sebagai rasul, serta Alquran dan hadits sebagai pedoman. “Insyaallah kehidupan mereka akan tentram dan damai baik di dunia maupun akherat,” katanya.
Selain digunakan untuk sarana beribadah, kompleks Masjid Gedhe Kauman juga sering digunakan untuk berbagai prosesi tradisi Keraton Yogyakarta. Di antaranya tradisi grebeg yang dilakukan tiga kali dalam satu tahun.
Setiap hari di kompleks masjid tersebut dalam bulan puasa dilaksanakan pengajian dan buka bersama. Khusus pada hari Kamis dengan menu berupa gulai kambing. Dulu proses penyembelihan sampai dengan masak dilakukan di komplek seluas 16.000 meter persegi. Namun kini sudah ditangani oleh katering yang lebih moderen.
Editor: Kastolani Marzuki