Membaca 5 Puisi Umbu Landu Paranggi, dari Apa Ada Angin di Jakarta hingga Ibunda Tercinta

DENPASAR, iNews.id - Kematian penyair legendaris Umbu Landu Paranggi, menjadi duka bagi dunia sastra Indonesia. Penyair berjuluk Presiden Malioboro meninggal dunia dalam usia 77 tahun di Bali, Selasa (6/4/2021), dini hari.
Umbu lahir di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, pada 10 Agustus 1943. Dia juga dikenal sebagai guru bagi para penyair dan sejumlah sastrawan besar Indonesia.
Alumnus jurusan Sosiatri, Fisipol UGM ini dikenal sebagai Presiden Malioboro karena banyak bergiat di kawasan Malioboro, Yogyakarta itu pada dasawarsa 70-an bersama Persada Studi Klub (PSK).
Umbu kemudian pulang kampung ke Sumba pada tahun 1975. Tiga tahun kemudian, dia menetap di Bali hingga meninggal.
Semasa hidupnya, Umbu meraih banyak pencapaian dan pengakuan atas sepak terjangnya sebagai penyair. Salah satunya Penghargaan Seni pada tahun 2019 dari Akademi Jakarta.
Puisi-puisi karya Umbu banyak berbicara tentang spiritualitas. Puisi-pusinya juga mengungkapkan tentang kampung halamannya Sumba, Yogyakarta, dan Bali.
Berikut lima di antara puisi Umbu Landu Paranggi dari sekian banyak karyanya yang dikutip iNews.id dari berbagai sumber, termasuk dari blog umbulanduparanggi:
1. Apa Ada Angin di Jakarta
Apa Ada Angin di Jakarta
Apa ada angin di Jakarta
Seperti dilepas desa Melati
Apa cintaku bisa lagi cari
Akar bukit Wonosari
Yang diam di dasar jiwaku
Terlontar jauh ke sudut kota
Kenangkanlah jua yang celaka
Orang usiran kota raya
Pulanglah ke desa
Membangun esok hari
Kembali ke huma berhati
2. Di Sebuah Gereja Gunung
Di Sebuah Gereja Gunung
lonceng kecil yang bertalu, memanggil-manggil belainya
di tengah kesunyian, minggu pagi yang cerah
mereka pun berduyunlah ke sana: warga petani dan gembala
dalam dandanan sederhana, bangkit dari kampung, lembah
bukit dan padang-padang sepi
hidup dan kehidupan mereka di tanah warisan, telah terpanggil
dan lonceng gereja lalang di lereng gunung itu menuntun setia
dalam galau kesibukan mereka sehari-hari tak pernah lupa
panggilan minggu: di sini mereka, dalam gereja lalang dan bambu
-- berpadu memanjat doa dan terima kasih bagi kehidupan
-- bagi kebutuhan hari ini, hari depan datanglah ketentraman
-- di antara sesama, pada malapetaka menimpa dunia ini
-- pertikaian peperangan, damailah di surga di bumi ini: mazmur mereka
keyakinan yang telah terpatri, bersemi, tak terikat ruang dan waktu
juga dalam gereja lalang ini, terpencil jauh dan sunyi
jauh dari genteng, kegaduhan listrik serta deru oto
tak mengenal surat kabar, jam radio ataupun televisi
tapi keyakinan, pegangan mereka adalah harapan dan kerinduan yang sama
mentari dan bulan yang bersinar di mana pun --
dan tuhan mendengar seru doa mereka
3. Doa
Doa
sunyi
bekerjalah
kau
bagi
nyawaku
risau
sunyi bekerjalah
kau bagi
nyawaku risau
sunyi bekerjalah kau
bagi nyawaku risau
sunyi bekerjalah kau bagi nyawaku
risau
risau nyawaku bagi kau bekerjalah
sunyi
risau nyawaku bagi
kau bekerjalah sunyi
risau nyawaku
bagi kau
bekerjalah sunyi
risau
nyawaku
bagi
kau
bekerjalah
sunyi
Kauku
4. Ibunda Tercinta
Ibunda Tercinta
Perempuan tua itu senantiasa bernama:
duka derita dan senyum yang abadi
tertulis dan terbaca jelas kata-kata puisi
dari ujung rambut sampai telapak kakinya
Perempuan tua itu senantiasa bernama:
korban, terima kasih, restu dan ampunan
dengan tulus setia telah melahirkan
berpuluh lakon, nasib dan sejarah manusia
Perempuan tua itu senantiasa bernama:
cinta kasih sayang, tiga patah kata purba
di atas pundaknya setiap anak tegak berdiri
menjangkau bintang-bintang dengan hatinya dan janjinya
5. Sabana
Sabana
memburu fajar
yang mengusir bayang-bayangku
menghadang senja
yang memanggil petualang
sabana sunyi
di sini hidupku
sebuah gitar tua
seorang lelaki berkuda
sabana tandus
mainkan laguku
harum napas bunda
seorang gembala berpacu
lapar dan dahaga
kemarau yang kurindu
dibakar matahari
hela jiwaku risau
karena kumau lebih cinta
hunjam aku ke bibir cakrawala
Editor: Maria Christina