Menilik Tobong Gamping, Bangunan yang Tuai Kontroversi karena Dijadikan Ikon Gunungkidul
Usaha tobong pernah berjaya saat gempa bumi 2006. Saat itu permintaan sangat tinggi karena banyak yang membangun rumah.
Cara kerja Tobong Gamping cukup sederhana, yaitu memasukkan batu ke dalam tungku, lalu dibakar sesuai kebutuhan. Untuk membuat serbuk gamping, pekerja harus memecah batu putih dan memukulnya lalu memasukkannya ke dalam tobong. Api di bawah tobong harus diatur sedemikian agar terus menyala.
Nama Tobong mengacu pada bentuk bangunannya yang berupa menara. Proses pembakaran bisa memakan waktu 24 jam dalam sepekan untuk 15 ton batu putih, yang menjadi batu kapur.
“Batu kapurnya juga digunakan untuk menetralkan limbah tambak udang,” katanya.
Kini tobong gamping mulai ditinggalkan masyarakat. Meski begitu permintaan cukup luas dari Semarang, Pemalang, Tegal hingga Jakarta. Setiap bulannya Satimin bisa mengirimkan 70 ton batu kapur, dengan harga Rp 1.000 per kilogram.
Pengerjaan tobong gamping membutuhkan sekitar 30 orang dalam sehari. Namun saat ini, hanya ada 7 orang yang bekerja per hari. Sebagian besar usianya tak lagi muda. Pekerjaan ini tidak diminati karena banyak menguras tenaga.
Editor: Kuntadi Kuntadi