get app
inews
Aa Text
Read Next : 5 Tempat Wisata di Dekat Bukit Bintang Gunungkidul yang Wajib Masuk Bucket List Kamu!

Menilik Tobong Gamping, Bangunan yang Tuai Kontroversi karena Dijadikan Ikon Gunungkidul 

Selasa, 27 September 2022 - 16:05:00 WIB
Menilik Tobong Gamping, Bangunan yang Tuai Kontroversi karena Dijadikan Ikon Gunungkidul 
Dua orang pekerja tengah menjaga bara api pembakaran Tobong gamping di Dusun Kajar II (Foto: MPI/Erfan Erlin).

GUNUNGKIDUL, iNews.id - Pemerintah Kabupaten Gunungkidul akan mengganti Monumen Patung Pengendang di Bundaran Siyono, Kalurahan Logandeng, Kapanewon Playen dengan Monumen Tobong Gamping. Wacana ini banyak menuai kontroversi di tengah masyarakat, dari seniman hingga anggoa DPRD.  

Warga menolak ikon tersebut karena dianggap sebagai salah satu biang kerusakan lingkungan yang terjadi di Gunungkidul. Aktivitas tobong gamping telah menjadikan penambangan Batu Kapur terjadi di berbagai titik. Oleh karenanya, mereka menolak rencana tersebut. 

Aktivitas tobong gamping pernah mewarnai perjalanan masyarakat Gunungkidul bahkan menjadi penopang perekonomian wilayah ini. Tobong gamping pernah berjaya di tahun 80-an hingga 90-an. Salah satunya di kawasan Kalurahan Karangtengah Kapanewon Wonosari.

Pada era tersebut puluhan tobong gamping sempat beroperasi. Saat itu, permintaan gamping cukup tinggi karena dipakai sebagai bahan campuran semen untuk bahan bangunan. Puluhan tobong gamping bermunculan. Namun kini, di wilayah tersebut tinggal satu saja.  

Salah satunya adalah milik Wardoyo (62) yang berada di Pedukuhan Kajar II, Kalurahan Gari, Wonosari. Dia adalah satu dari dua pengusaha tobong gamping yang masih bertahan di Gunungkidul. Karena yang lain sudah banyak yang gulung tikar.

Dulu dia memiliki beberapa tobonga namun tinggal tiga yang masih berfungsi. Dua tobong yang menggunakan bahan bakar kayu bakar dan satu lagi berukuran besar menggunakan serbuk gergaji kayu. Sisanya kini kebanyakan kondisinya sudah rusak tak berbentuk dan telah menjadi semacam monumen.

Salah satu pekerja, Satimin (62) mengaku sudah bekerja di tobong tersebut sejak awal tahun 1980-an. Namun dia sempat berhenti bekerja dan beralih profesi menjadi sopir truk. Ia kembali bekerja di Tobong Gamping sejak 1990-an karena situasi transportasi terus menurun.

“Dulu warga Gari bekerja di tobong gamping. Ada kalau 50 tobong di sini,” katanya.

Usaha tobong pernah berjaya saat gempa bumi 2006. Saat itu permintaan sangat tinggi karena banyak yang membangun rumah.  

Cara kerja Tobong Gamping cukup sederhana, yaitu memasukkan batu ke dalam tungku, lalu dibakar sesuai kebutuhan. Untuk membuat serbuk gamping, pekerja harus memecah batu putih dan memukulnya lalu memasukkannya ke dalam tobong. Api di bawah tobong harus diatur sedemikian agar terus menyala. 

Nama Tobong mengacu pada bentuk bangunannya yang berupa menara. Proses pembakaran bisa memakan waktu 24 jam dalam sepekan untuk 15 ton batu putih, yang menjadi batu kapur. 

“Batu kapurnya juga digunakan untuk menetralkan limbah tambak udang,” katanya.

Kini tobong gamping mulai ditinggalkan masyarakat. Meski begitu permintaan cukup luas dari Semarang, Pemalang, Tegal hingga Jakarta. Setiap bulannya Satimin bisa mengirimkan 70 ton batu kapur, dengan harga Rp 1.000 per kilogram. 

Pengerjaan tobong gamping membutuhkan sekitar 30 orang dalam sehari. Namun saat ini, hanya ada 7 orang yang bekerja per hari. Sebagian besar usianya tak lagi muda. Pekerjaan ini tidak diminati karena banyak menguras tenaga.

Pemilik usaha tobong gamping, Wardoyo mengaku memilih tetap bertahan demi puluhan pegawainya. Jika ia tidak mempertahankan usahanya maka puluhan karyawannya akan kehilangan mata pencaharian mereka

"Sebab kasihan sama tenaganya, mereka tetap perlu bekerja," ujarnya. 

Wardoyo mengaku tidak mengetahui sejak kapan industri tobong gamping rumahan berdiri di wilayah mereka. Karena ia sudah menjadi generasi kesekian di keluarganya dalam mengelola tobong gamping.

Wardoyo mengaku tobong gamping miliknya sempat disurvei untuk dijadikan contoh rancangan monumen di Bundaran Siyono. Dia berharap usahanya bisa tetap berjalan, terlepas ada tidaknya dukungan pemerintah.

Editor: Kuntadi Kuntadi

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya

iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut